REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengkritik penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali. Kendati namanya memuat pembatasan mobilitas di dua pulau, penerapannya hanya dilakukan di 23 kota.
"PPKM dikira seluas Jawa-Bali, tapi hanya diberlakukan di 23 kota, DKI Jakarta saja sudah lima kota hitungannya," kata Ketua Umum IAKMI Ede Surya Darmawan kepada Republika, Senin (1/2).
IAKMI menilai PPKM seharusnya diterapkan lebih tegas agar mampu menekan laju penularan Covid-19. Karena itu, ia mengusulkan pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang PPKM.
Ia meyakini PSBB mampu membatasi mobilitas penduduk yang pada akhirnya menekan laju infeksi. "PSBB diterapkan mau akhir pekan, sepanjang pekan enggak apa-apa karena jangan sampai ada yang bergentayangan tidak jelas," kata Ede.
Selain PSBB, ia mengatakan, pemerintah perlu menguatkan tracing, testing, dan treatment (3T). Selama ini, Ede memandang tracing dan testing belum berjalan secara cepat dan tepat.
Ede mengkhawatirkan kegiatan testing lebih didominasi dari jenis testing mandiri. Padahal, testing mestinya didominasi hasil tracing oleh pemerintah.
"Bagaimana tracing dan testing-nya? 35-40 persen orang Jakarta. Harusnya 18 wilayah lain di atas 35 persen. Penduduk Jakarta tidak sampai 10 persen Indonesia. Testing di Jakarta 10 persen saja biar genjot daerah lain," ujar Ede.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku bahwa kebijakan pemberlakuan PPKM tak efektif dalam menekan laju penularan Covid-19. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, ke depannya Presiden Jokowi menginginkan kebijakan pembatasan sosial yang lebih bersifat mikro.