REPUBLIKA.CO.ID, NAYPITYAW -- Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing memimpin Myanmar setelah kudeta militer dalam penahan terhadap presiden dan pemimpin sipil, Senin (1/2). Jenderal berusia 65 tahun yang semestinya pensiun itu memimpin upaya kudeta dengan tudingan pemilu yang dimenangi partai berkuasa dipenuhi kecurangan.
Profesor di Fakultas Hukum, Universitas New South Wales di Sydney, Australia, Melissa Crouch menilai, Jenderal Aung Hlaing telah lama memendam ambisi presiden. Namun, kekalahan pemilu pada Partai Solidaritas dan Pembangunan Serikat (USDP) menggagalkan tujuannya menjadi presiden.
Tatmadaw, nama lain militer Myanmar, telah menunjuk 166 atau 25 persen kursi di parlemen. USDP akan membutuhkan 167 kursi lagi untuk menunjuk Min Aung Hlaing sebagai presiden negara.
Namun, partai tersebut hanya memenangkan 33 dari 498 kursi yang tersedia. Sedangkan, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengambil 396 kursi.
Crouch mengatakan, kudeta yang terjadi hanya beberapa jam sebelum parlemen baru akan bertemu untuk pertama kalinya pada Senin (1/2), dipicu oleh kesadaran militer bahwa tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan kembali kursi kepresidenan. "Untuk mendapatkan kembali kantor presiden, mereka harus bertindak di luar hukum," ujar Crouch dikutip laman Aljazirah, Selasa (2/2).
"Dan dalam waktu satu tahun, mereka akan mengizinkan pemilihan baru dilakukan. Jika USDP berhasil mendapatkan sepertiga kursi, maka ada kemungkinan Min Aung Hlaing bisa menjadi presiden," ujarnya melanjutkan.
Min Aung Hlaing sebelumnya merupakan tokoh yang kurang dikenal di luar angkatan bersenjata. Dia kemudian diangkat sebagai panglima tertinggi pada 2011. Saat itu, Myanmar mulai beralih dari 49 tahun pemerintahan militer ke pemerintahan sipil.
Ketika NLD memenangkan pemilihan multi-partai pada 2015, jenderal Aung Hlaing mulai mempromosikan dirinya sebagai calon presiden. Dia tidak pensiun seperti yang semestinya dilakukan pada 2016.
Citranya pun meningkat dengan bantuan media sosial, dari tentara yang kerap menyendiri menjadi figur publik. Halaman Facebook yang didedikasikan untuk umum mempublikasikan aktivitasnya, termasuk kunjungan ke biara di negara mayoritas Buddha, dan pertemuan dengan pejabat.
Salah satu halaman memiliki 1,3 juta pengikut dan bertindak sebagai saluran utama militer untuk mendapatkan informasi, terutama selama penumpasan brutal Tatmadaw terhadap minoritas Rohingya pada 2017. Operasi tersebut termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan berkelompok, dan pembakaran yang meluas.
Operasi tersebut mendorong sekitar 730 ribu Rohingya masuk negara tetangga Bangladesh. Tahun berikutnya. Setelah penumpasan itu, Facebook menghapus dua halaman tersebut.
Baik Amerika Serikat (AS) dan Inggris sejak itu menjatuhkan sanksi pada Min Aung Hlaing atas kampanye penumpasan darah tersebut. Operasi 2017 itu dinilai oleh para penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa dilakukan dengan "niat genosida".