REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Rancangan undang-undang anti-Islam yang kontroversial yang diusulkan pemerintah Prancis akan menjadi perdebatan sengit di Majelis Nasional Prancis selama dua pekan ke depan. Anggota parlemen Prancis akan mulai membahas RUU separatisme pada Senin mendatang.
RUU tersebut mengklaim beberapa otoritas agama bergerak secara perlahan ke dalam layanan publik, asosiasi, beberapa sekolah dan online dengan tujuan merusak nilai-nilai nasional. RUU yang juga dijuluki sebagai RUU anti-Islam tersebut bersifat luas dan kontroversial.
Setidaknya, ada 1.700 amandemen yang diusulkan dalam RUU tersebut. RUU tersebut mencerminkan prioritas Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang dalam pidatonya pada Oktober 2020 melukiskan gambaran gelap Islam, sebagai agama nomor dua di Prancis. Ia berpandangan, Islam secara diam-diam membuat terobosan dan menciptakan 'masyarakat tandingan'.
Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, anggota partai berhaluan tengah Macron yang berhaluan kanan, menjalankan misi tersebut dengan semangat. Darmanin menulis sebuah buku pendek yang akan dirilis dalam beberapa hari berjudul Manifesto for Secularism, sebuah nilai fundamental Prancis yang harus dilindungi oleh RUU yang dia sponsori.
"Islamisme adalah kuda Troya yang menyembunyikan bom fragmentasi masyarakat kita. Dalam menghadapi musuh yang berbahaya, yang kita tahu jauh dari agama nabi (Islam), adalah normal jika pejabat publik mengambil tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis Darmanin, menurut kutipan dari harian Le Figaro, dilansir di TRT World, Selasa (2/2).
Meskipun serangan baru-baru ini di Prancis dilakukan oleh orang luar, berbagai serangan teroris itu menjadi latar belakang RUU tersebut. Teks dalam RUU tersebut berlaku untuk semua agama, tetapi beberapa Muslim mengatakan undang-undang tersebut sekali lagi menunjuk pada Islam.