REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Energi terbarukan di Indonesia memiliki potensi begitu besar. Sayangnya hingga saat ini potensi tersebut masih belum tergarap maksimal. Keberadaan Badan Pengelola Energi Baru Terbarukan (BPEBT) bakal mampu mengakselarasi percepatan penggunaan energi terbarukan di Indonesia sehingga mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
“Dengan potensi yang kita miliki Indonesa bisa menjadi mercusuar pemanfaatan energi terbarukan. Maka dibutuhkan adanya Lembaga khusus yang bisa mempercepat studi maupun investasi pengunaan energi baru terbarukan di Indonesia seperti BPEBT,” ujar Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR Fathan Subchi, saat membuka Focus Group Discussion (FGD) di DPR, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika Jabar, Selasa (2/2).
Hadir dalam FGD tersebut Anggota Komisi VII DPR dari FPKB Ratna Juwita Sari, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi, Kementerian ESDM Dadan Kusdana dan Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadarma. FGD bertajuk Pembentukan Badan Pelaksana Energi Baru Terbarukan, Perlukan Dilakukan? ini merupakan bagian dari diskusi mingguan yang digelar oleh Fraksi PKB DPR.
Fathan mengatakan, saat ini di banyak negara di dunia telah terjadi tren transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Banyak negara di Eropa maupun Amerika yang telah menginvestasikan miliaran dolar untuk pengembangan energi terbarukan. Bahkan China, Indian, dan Singapura secara serius mengembangkan energi terbarukan dari tenaga surya maupun tenaga angin.
“Transisi energi dari fosil ke energi terbarukan memang tidak bisa dihindarkan mengingat kian menipisnya cadangan minyak dunia dan tuntutan agar masyarakat dunia secara serius aktif terlibat dalam konservasi lingkungan hidup,” ujarnya.
Ironisnya, kata Fathan di saat negara lain serius melakukan transisi ke energi terbarukan, wacana tersebut di Indonesia seolah dibahas sambil lalu saja. Padahal produksi lifting migas cenderung tak mencapai target yang telah ditetapkan. Tercatat kebutuhan minyak mentah per hari pada tahun 2020 mencapai 1,8 juta barrel sementara itu produksinya hanya mencapai 723,107 BOPD (barrel oil per day).
“Hal ini berarti lebih dari 50 persen minyak mentah diperlukan untuk impor demi memenuhi kebutuhan energi nasional. Impor minyak dan gas bumi ini merupakan beban bagi devisa negara dan memicu defisit neaca perdagangan,” katanya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR ini menegaskan kedepan wacana energi terbarukan ini harus digarap secara serius. Salah satunya melalui pembentukan BPEBT sebagai pintu masuknya. Diharapkan dengan adanya badan pengelola khusus tersebut maka studi, investasi, maupun pembangunan sarana dan prasarana energi terbarukan bisa segera terealisasikan secara massif di tanah air.
“Wacana BPEBT ini pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang menjadi prolegnas prioritas 2021. Kami akan dorong dan kawal sehingga RUU ini bisa segera disahkan. Dengan demikian upaya untuk transisi energi baru terbarukan bisa kita realisasikan sehingga mimpi mempunyai sumber energi yang lebih murah, renewable, dan ramah lingkungan bisa terwujud,” pungkasnya.