Selasa 02 Feb 2021 23:44 WIB

Kudeta Myanmar dan Demonstrasi Rusia, Ujian Awal untuk Biden

Biden berjanji di bawah pemerintahannya, AS akan kembali mendukung HAM.

Rep: Lintar Satria/ Red: Andri Saubani
 Presiden Joe Biden menyampaikan sambutannya tentang kesetaraan rasial, di Ruang Makan Negara Gedung Putih, Selasa, Januari. 26, 2021, di Washington.
Foto: AP/Evan Vucci
Presiden Joe Biden menyampaikan sambutannya tentang kesetaraan rasial, di Ruang Makan Negara Gedung Putih, Selasa, Januari. 26, 2021, di Washington.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pengamat menilai penindakan keras terhadap pengunjuk rasa di Rusia dan kudeta militer di Myanmar menjadi menguji kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Bagaimana mantan wakil Barack Obama itu membawa AS kembali menjadi pembela demokrasi di dunia.

Biden berjanji di bawah pemerintahannya AS akan kembali mendukung hak asasi manusia, kebebasan berbicara, dan keterbukaan politik. Belum 100 hari menjabat Biden sudah dihadapkan dua tantangan di dua belahan dunia yang berbeda yang kerap diabaikan pemerintahan Donald Trump.

Baca Juga

Selama berpuluh-puluh tahun, AS menginvestasikan waktu, dana, dan energi untuk mempromosikan demokrasi di Myanmar dan Rusia. Dua tantangan tersebut dapat berdampak pada keseimbangan kekuataan dunia. Sebab gejolak di Myanmar berpotensi menguatkan China di sana.

Selain itu, walaupun kedua situasi tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan ketidakpastian politik di dalam negeri, sejumlah pakar yakin pemerintah negara asing mungkin akan mengambil kesempatan dalam ketidakperdayaan AS di akhir-akhir pemerintahan Trump.

"Ini tidak selalu tentang kita, masing-masing memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, tapi pasti mengambil isyarat dari kami, apa yang menghubungkan keduanya dengan kampanye, tim Biden berbicara mengenai dukungan mereka menjadikan demokrasi sebagai pemandu," kata mantan diplomat AS untuk Eropa, Dan Fried, Selasa (2/2).

Baca juga : Dino Patti Djalal: Kudeta Myanmar Preseden Buruk

Pembantu-pembantu Biden sudah membantah pemberontakan pendukung Trump ke Capitol Hill pada 6 Januari lalu akan berdampak pada pengaruh AS dalam jangka panjang. Tetapi, mereka mengakui hal itu akan menjadi salah satu faktor dalam upaya Biden menegaskan kembali kepemimpinan moral AS yang menurun selama pemerintahan Trump.

"Amerika Serikat masih menjadi negara di dunia yang diharapkan pada kepemimpinannya dan hal itu butuh waktu, tapi jelas kami berkomitmen untuk melakukannya," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki Senin (1/2) kemarin.

Hal ini disampaikan usai Biden mengumumkan memberlakukan sanksi-sanksi lama Myanmar usai militer mengkudeta pemerintahan yang dipilih dengan demokratis. Sanksi-sanksi tersebut sempat dicabut sebagian selama pemerintahan Barack Obama.

"Amerika Serikat mencabut sanksi-sanksi pada Myanmar selama sepuluh tahun terakhir berdasarkan kemajuan dalam demokrasi, kemunduran pada kemajuaan ini memerlukan peninjauan ulang atas sanksi-sanksi dan otoritas kami, sesuai dengan pendekatan yang tepat, Amerika Serikat akan berpihak pada demokrasi dimanapun hal itu diserang," kata Biden.

 

Pekan ini, militer Myanmar kembali mengambil alih pemerintah setelah sempat bereksperimen dengan demokrasi yang terbatas. Angkatan Bersenjata menahan State Counsellor Aung San Suu Kyi. Hal ini membuka pintu lebih luas lagi bagi China di saat AS berusaha menahan pengaruh Beijing di kawasan.

Baca juga : Ambisi Jenderal Min Aung Hlaing Jadi Presiden Myanmar

"Ini kemunduran bagi Myanmar dan pemerintah demokrasi di seluruh Asia, ini kemunduran yang tak menguntungkan yang mengarah pada otoritarinisme dan mengkhawatirkan, memberi contoh mengerikan bagi negara lain," kata mantan Wakil Menteri Luar Negeri kawasan Asia dan Pasifik, Danny Russel.

Russel kini wakil presiden International Security and Diplomacy di Asia Society Policy Institute. "Jelas ini krisis di awal pemerintahan Biden dan memperjelas perbedaan antara dukungan pada demokrasi dan dukungan China pada otoritarianisme," tambahnya.

Ketegangan di Myanmar sudah terasa sejak lama tapi Washington gagal melacaknya sejak awal. Terutama karena didera pandemi virus corona yang menyebabkan krisis terburuk di AS setelah puluhan tahun.

Sementara di Rusia, petugas keamanan menindak keras pendukung oposisi pemerintah Alexei Navalny yang ditahan saat baru tiba dari Jerman usai menjalani pengobatan serangan racun pada bulan Agustus tahun lalu. Trump sangat jarang memberi sinyal keras terhadap Rusia.

Diketahui, Presiden Vladimir Putin menggunakan tangan besi untuk membungkam pendukung Navalny. Hal itu memberikan tamparan keras pada Washington dan Eropa.

Baca juga : Viral Khing Hnin Wai Tetap Bersenam di Tengah Kudeta Myanmar

"Ini tantangan bagi Biden, tapi bukan tantangan langsung padanya," kata Fried yang kini bekerja dengan Atlantic Council.

Ia mengatakan sanksi-sanksi mungkin tidak akan efektif untuk menghentikan aksi Kremlin. Tapi cukup untuk menarik perhatian.

"Mereka dapat melakukan lebih, sanksi dapat dilakukan dengan tepat dan mengirim pesan pada masyarakat Rusia, Amerika tidak bodoh, mereka tahu apa yang terjadi," tambah Fried.

 

photo
Jejak oposisi Kremlin Alexei Navalny yang diduga diracun. - (Reuters/berbagai sumber)

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement