Selasa 02 Feb 2021 23:43 WIB

Misteri Kematian

Kematian itu keniscayaan bagi semua makhluk yang hidup.

Petugas pemakaman menguburkan jenazah korban COVID-19 di TPU Srengseng Sawah Dua, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa, (2/2/2021). Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Ivan Murcahyo menyatakan TPU Srengseng Sawah dua telah mulai menerima pemakaman jenazah COVID-19 dengan kapasitas 1.020 petak.
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Petugas pemakaman menguburkan jenazah korban COVID-19 di TPU Srengseng Sawah Dua, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa, (2/2/2021). Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Ivan Murcahyo menyatakan TPU Srengseng Sawah dua telah mulai menerima pemakaman jenazah COVID-19 dengan kapasitas 1.020 petak.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muslich Taman

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir setahun di Indonesia  (dan juga berbagai negara lainnya di dunia) membuktikan bahwa  kematian itu sesungguhnya hal yang sangat dekat dengan setiap manusia. Lalu, bagaimanaseharusnya, kita  bersiap-siap untuk menghadapi kematian?

Imam Al-Qurthubi  dalam  bukunya yang berjudul At-Tadzkirah fi Ahwalil Mautawa Umuril Akhirah, menyinggung bahwa kematian itu keniscayaan bagi semua makhluk yang hidup, termasuk manusia. Kematian tidak boleh ditakuti tetapi juga tidak perlu diminta dan dicari. Kematian termasuk musibah besar, tetapi ada musibah yang lebih besar dari kematian, yaitu melalaikan kematian itu sendiri. Yang paling penting terkait kematian adalah, mempersiakan diri dengan bekal sebaik-baiknya untuk menyambut dan menemuikematian.

Bekal terbaik untuk menemui kematian bukanlah harta yang banyak. Bukan pula jabatan yang tinggi. Tidak juga popularitas dan jaringan perkenalan yang luas. Tetapi, amal saleh dan ketakwaan. Suatu yang sederhana,  namun membutuhkan mujahadah yang optimal. Amal saleh adalah perbuatan yang bisa dikerjakan oleh siapa pun dan di mana pun, meskipun mungkin ia tidak kaya, tidak punya jabatan, dan juga tidak punya popularitas apa pun. Dengan catatan, ia beriman, amal yang dikerjakan itu baik, dikerjakan mengikuti petunjuk Rasul, dan dengan niat ikhlas semata-mata mencari ridha Allah SWT, bukan karena selain-Nya.Sekecil apa pun amalan itu.

Allah berfirman, 

فَمَنۡ كَانَ يَرۡجُوۡالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلۡيَـعۡمَلۡ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا

"Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh  (kebajikan) dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."(Al-Kahfi:110)

Imam Asy-Syaukani dalam kitab tafsirnya, FathulQadir, lebih simple lagi menjelaskan pengertian amal saleh  pada ayat di atas, sebagai setiap kebaikan yang dinyatakan oleh syariat bahwa pelakunya berhak untuk mendapatkan balasan pahala.Yaitu berupa amal saleh apa saja.

Allah juga berfirman,

تِلْكَ ٱلْجَنَّةُٱلَّتِى نُورِثُ مِنْ عِبَادِنَا مَن كَانَ تَقِيًّا

"Itula surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa." (QS. Maryam: 63)

Terkait dengan bekal kematian, dalam hadits yang shahih Rasulullah juga pernah mengingatkan,

يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ : يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

"Orang yang mati, akan diantarkan ke kuburannya oleh tiga hal. Yang dua pulang dan yang satu tetap menemaninya. Yaitu oleh keluarganya, harta bendanya, dan amal salehnya. Lalu keluarga dan hartanya pulang, sedangkan amal saleh  tetap menyertainya." (HR. Al-Bukhari)

Adapun,  tentang pentingnya beramal dengan ikhlas sebagai bekal kematian, Allah berfirman,

ومَا أُمِرُوْا إِلاَّلِيَعْبُدُاللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ

"Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…" (Al-Bayyinah: 5)

Sebagai orang beriman, semestinya kita  tidak boleh galau dan khawatir menghadapi kematian. Apakah itu kematian bagi dirinya sendiri atau bagi orang-orang yang dicintainya. Karena sejatinya, kematian adalah jalan indah bagi setiap pemilik cinta sejati untuk menikmati buah cintanya, bertemu dengan Dzat yang paling dicintainya, yaitu Allah SWT.

Imam Al-Qurthubi mengisahkan, bahwa ketika Malaikat Maut datang kepada Nabi Ibrahim yang memiliki  julukan Khalilur Rahman (Kekasih Allah) itu, untuk mencabut nyawanya, beliau  berkata, "Hai Malaikat Maut, pernahkah kamu melihat ada seorang kekasih mencabut nyawa kekasihnya?"

Atas pertanyaan itu, Malaikat Maut paham dengan apa yang dimaksudkan Nabi Ibrahim, yaitu agar jangan dulu mencabut  nyawanya. Maka Sang Malaikat pun langsung bergegas menemui Allah SWT untukmengadukan apa yang dikatakan Nabi Ibrahim kepadanya. Dan Allah pun berfirman kepadanya, "Katakan  kepada Adam, pernahkah kamu melihat ada seorang kekasih yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya?"

Mendengar firman itu,  Malaikat Maut pun segera kembali menemui Nabi Ibrahim, untuk menyampaikan apa yang dipesankan Allah kepadanya. Dan kali ini, setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Malaikat Maut kepadanya, Nabi Ibrahim sang kekasih Allah itu sontak langsung berkata, "Cabutlah nyawaku  sekarang juga."

Beliau paham, benar-benar paham bahwa Allah adalah kekasih sejatinya, danapa yang ada di sisi-Nya adalah jauh lebih baik dan lebih nikmat bagi dirinya dari segalanya. Dan itulah buah dari cinta  sejati  bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Maka, ia harus segera bertemu dengan-Nya. Wallahu a'lam bishshawab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement