Rabu 03 Feb 2021 12:03 WIB

Jenderal Myanmar Klaim Lakukan Kudeta Sesuai Hukum

Jenderal Myanmar menyebut, kudeta tidak terelakkan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Panglima Tertinggi militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing
Foto: EPA-EFE/ LYNN BO BO
Panglima Tertinggi militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, pengambilalihan kekuasaan di Myanmar oleh militer tidak terelakkan dan sesuai hukum. Hal itu dikatakan dalam komentar publik pertama pada pertemuan pemerintahan barunya setelah kudeta, Selasa (2/2) waktu setempat.

Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, pengambilalihan militer sejalan dengan hukum sebab pemerintah gagal menanggapi keluhannya atas kecurangan pemilu. "Setelah banyak permintaan, cara ini tak terhindarkan bagi negara dan itulah mengapa kami harus memilihnya," katanya dalam rapat kabinet pertama, menurut pidato yang diunggah di akun Facebook resmi militer, dikutip laman Channel News Asia, Rabu (3/2).

Baca Juga

Jenderal Min Aung Hlaing diberi kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif melalui kudeta militer. Hal itu secara efektif mengembalikan Myanmar ke pemerintahan militer setelah 10 tahun menjadi negara demokrasi.  

Pernyataan Min Aung Hlaing keluar setelah Amerika Serikat (AS) secara resmi menetapkan pengambilalihan militer itu sebagai kudeta. Militer Myanmar alias Tatmadaw mengejutkan negara juga dunia ketika mereka menahan para pemimpin pemerintahan yang menang telak dalam pemilu November.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan, telah menilai bahwa Aung San Suu Kyi, pemimpin partai yang berkuasa (Myanmar), dan Win Myint, kepala pemerintahan yang terpilih, digulingkan dalam kudeta militer. Dengan penunjukan tersebut, berarti AS tidak dapat membantu pemerintah Myanmar, meskipun dampak apa pun terutama akan bersifat simbolis karena hampir semua bantuan diberikan kepada entitas nonpemerintah.

Baca juga : Seluruh izin Penerbangan di Myanmar Dicabut

Militer sudah di bawah sanksi AS atas kampanye brutalnya terhadap minoritas Rohingya. Di ibu kota Naypyidaw, pasukan bersenjata ditempatkan di luar asrama untuk anggota parlemen.

Seorang anggota parlemen Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menggambarkannya sebagai pusat penahanan terbuka, meskipun pada malam hari beberapa politisi mengatakan mereka bebas untuk pergi. Sebuah pernyataan di halaman Facebook terverifikasi NLD menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi serta Presiden Win Myint dan semua anggota partai yang ditahan.

NLD juga menuntut militer mengakui hasil yang dikonfirmasi dari pemilihan umum 2020. Pada sore hari seorang petugas partai mengatakan bahwa tidak ada kontak langsung dengan Suu Kyi, meskipun seorang tetangga melihatnya di kediamannya di Naypyidaw.

"Dia kadang berjalan di kompleks rumahnya untuk memberi tahu orang lain bahwa dia dalam keadaan sehat," kata petugas pers NLD Kyi Toe.

Pada Selasa (2/2) malam waktu setempat, di pusat komersial negara Yangon, penduduk membunyikan klakson mobil dan panci serta wajan yang berdenting sebagai protes atas kudeta tersebut, menyusul kampanye media sosial. Beberapa orang meneriakkan, "Hidup Bunda Suu."

Militer menuduh kecurangan yang meluas dalam pemilihan yang diadakan tiga bulan lalu dan dimenangkan NLD secara telak. Militer mengatakan, akan memegang kekuasaan dalam keadaan darurat selama 12 bulan. Pihak militer juga mengeklaim, akan mengadakan pemilihan baru.

"Sampai pemerintahan baru terbentuk setelah pemilu, kami akan berusaha mempertahankan negara," ujar pernyataan militer.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement