REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Mimi Kartika, Antara
Kasus terpilihnya Orient Riwu Kore sebagai Bupati Sabu Raijua seharusnya bisa terhindari bila Orient sejak awal mengakui statusnya. Aturan hukum di Indonesia pasalnya jelas hanya membolehkan Warga Negara Indonesia atau WNI sebagai kepala daerah.
Pengamat politik di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jhon Tuba Helan, mengatakan Orient sejak awal harusnya menyadari statusnya yang masih sebagai warga negara AS. Seharusnya sebelum mengikuti pilkada, ia lebih dulu mengubah status kewarganegaraannya.
Menurut Jhon yang juga dosen Hukum Tata Negara di Universitas Nusa Cendana Kupang menilai kesalahan pertama tentunya ada pada bupati terpilih yang tahu dan mau mendaftar ikut dalam pilkada di Sabu Raijua. Selain itu juga Jhon menilai bahwa kejadian yang terjadi di Sabu Raijua adalah juga bukti ketidaktelitian penyelenggara pilkada yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kemudian meloloskan seorang warga negara AS masuk dalam pilkada di Sabu Raijua.
Namun, kemenangan dari bupati terpilih Sabu Raijua, Orient Riwu Kore, bisa dibatalkan setelah ada konfirmasi resmi dari Kedubes AS bahwa yang bersangkutan adalah warga negara AS. "Menurut saya kemenangan dari yang bersangkutan bisa dibatalkan atau dianulir karena memang secara undang-undang yang bersangkutan tidak memenuhi syarat," katanya, Rabu (3/2)
Kasus ini mencuat setelah kemarin Kedubes AS mengirimkan surat konfirmasi ke Bawaslu kalau Orient merupakan warga negara AS. Jhon Tuba Helan mengatakan surat konfirmasi bisa menjadi dasar pembatalan kemenangan Orient.
Mekanisme pembatalan tersebut ada dan diatur dalam UU No 10 Tahun 2016. Bahkan setelah dilantik kepala daerah juga bisa dibatalkan, karena tidak bisa seorang kepala daerah adalah warga negara asing seperti diatur dalam undang-undang.
"Di UU Pilkada jelas disebut bahwa calon kepala daerah bupati wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat. Jadi sudah jelas bahwa yang boleh menjadi kepala daerah adalah WNI," tegasnya. Jhon juga menambahkan karena tidak memenuhi syarat sebagai karena statusnya WNA maka suara yang diperoleh artinya tidak memenuhi syarat.
Ketua Bawaslu Sabu Raijua, Yugi Tagi Huma, mengatakan sebenarnya dari awal kasus ini sudah diselidiki oleh mereka. Bawaslu bahkan sudah memperingatkan KPU Sabu Raijua.
Bawaslu juga sampai mengirimkan surat ke Kedubes AS untuk menanyakan kewarganegaraan dari Orient. Surat tersebut sudah dikirim sejak awal Januari namun baru dapat balasan dari Kedubes setelah adanya penetapan pemenang pilkada di Sabu Raijua. "Suratnya baru diterima kemarin dan langsung kami buka dan Kedubes mengonfirmasi yang bersangkutan masih berstatus warga AS," tambah dia.
Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, mengusulkan beberapa alternatif solusi. Pertama, Orient bisa dikenakan sanksi pidana atas dugaan pelanggaran pemalsuan surat yang diatur Pasal 184 juncto Pasal 181 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Pasal 184 itu berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta.
Kedua, lanjut Fritz, pelantikan calon kepala daerah terpilih dapat mengacu pada Pasal 164 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menjelaskan sejumlah kondisi pelantikan calon terpilih, di antaranya calon terpilih tetap bisa dilantik meskipun sedang menjalani proses hukum.
Apabila sang calon terpilih berstatus sebagai terdakwa atau terpidana, maka calon itu tetap dilantik, tetapi langsung diberhentikan. Namun, Fritz mengatakan, kewenangan pelantikan berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), karena tahapan pemilihan sudah selesai setelah calon kepala daerah terpilih telah ditetapkan KPU.
"Tapi kan soal pelantikan, itu adalah kewenangan Mendagri karena sudah ditetapkan dan tidak ada sengketa ke MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Fritz.
Fritz menambahkan, dalam UU Pilkada, tidak ada mekanisme khusus saat calon terpilih sudah tidak lagi memenuhi syarat. Berbeda dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dalam Pasal 426 untuk konteks pemilihan legislatif, ada ketentuan pergantian bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat dan penetepan KPU akan batal demi hukum.
Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, ikut menjelaskan terkait isu kewarganegaraan Orient. Katanya, isu kewarganegaraan tersebut sudah sempat berhebus di awal penjaringan dan terdeteksi oleh Bappilu Partai Demokrat.
"Karenanya kami menindaklanjuti dan meminta klarifikasi kepada Jefri Riwukore yang merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi NTT mengingat proses penjaringan yang kami lakukan secara berjenjang mulai dari DPC untuk Pilkada kabupaten/kota," kata Kamhar kepada Republika.
Kamhar mengatakan pasangan calon Orient dan Thobias Uly diusung oleh koalisi lintas partai. Partai Demokrat menempatkan kadernya sendiri yaitu Thobias Uly sebagai Calon Wakil Bupati, sedangkan Orient merupakan kader PDIP yang ditempatkan sebagai calon bupati.
"Karena yang merupakan kader Partai Demokrat adalah Thobias Uly, tentunya kami lebih fokus pada pendalaman figur Cawabup, Orient Riwu Kore sendiri sebagai kader PDIP tentu menjadi ranah PDIP untuk melakukan pendalaman," ujarnya.
Setelah mendapat penjelasan dari Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi NTT tentang prospek koalisi PDIP dan Partai Demokrat pada Pilkada Sabu Raijua termasuk penjelasan kewarganegaraan Orient yang tak ganda, Kamhar mengatakan Bappilu langsung mengajukan permohonan rekomendasi Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). "Menyikapi perkembangan terbaru tentang isu kewarganegaraan ini, Partai Demokrat menghormati dan patuh pada regulasi yang mengatur Pilkada. Tentunya dengan tetap memperhatikan hak-hak hukum dari yang bersangkutan," ungkapnya.