REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menilai berbarengnya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2024, yang berbarengan dengan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg), sangat potensial bukan saja menurunkan, tapi juga merusak kualitas Pemilu dan demokrasi.
“Bukan saja berpotensi merusak kualitas Pemilu, juga berpotensi mengundang iklim politik nasional yang tidak kondusif,” kata Peneliti senior (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah, dalam siaran persnya, Rabu (3/2).
Menurut Toto yang juga Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA ini, mengatakan semua stakeholder mulai dari DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu dan civil society harus duduk bersama mengaji ulang masalah itu. Harus dibedah untung rugi, plus minus, manfaat dan mudhoratnya.
Menurut Toto, agenda politik nasional lima tahunan yang satu ini, tak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja seperti merujuk pada Pasal 101 ayat 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pilkada serentak diadakan pada November 2024. Tapi lebih dari itu, Pasal yang sering dijadikan acuan pemerintah ini juga harus dilihat dalam kontek yang lebih utuh, komprehensif dan integral dengan mengaitkannya dalam situasi dan kondisi kekinian.
Termasuk, jelas Toto, melihat masalah ini dari aspek kepentingan demokrasi dalam menjaga dan merawat kedaulatan rakyat yang harus berjalan normal secara periodik. Sebab, pada saat pergantian kepemimpinan, baik Bupati, Walikota, Gubernur dan bahkan Presiden tak berlangsung sesuai jadwal, memberi indikasi adanya keadaan yang tidak normal.
Kalau proses demokrasinya tidak berlangsung normal, kata dia, maka proses untuk melahirkan pemimpin baru untuk melayani rakyat secara periodik pun pasti terganggu. Dan otomatis rakyat pun kehilangan haknya untuk berdaulat memilih pemimpinnya karena jadwal tertunda,”jelasnya.
Dalam kondisi proses demokrasi yang tidak normal, biasanya sangat rawan ditunggangi kepentingan kelompok tertentu. Ini yang bisa merusak keadaan makin tidak kondusif, baik kecurangan maupun penyalahgunaan kekuasaan.
Setidaknya, ada 272 kepala daerah yang PLT (pelaksana tugas). Hal ini tentu bukan saja rawan terjadinya politisasi ASN, tapi juga akan berefek buruk pada terganggunya pelayanan publik.
Dalam kontek inilah, Toto kembali mengingatkan, semua stakeholder, khususnya pemerintah dan para elit parpol di DPR untuk tidak menonjolkan kepentingan politik praktisnya saja. Tapi, mulai berpikir jauh ke depan tentang pentingnya menjaga kualitas Pemilu dan iklim politik nasional yang kondusif. Salah satunya dengan tidak memberi ruang terjadinya keadaan abnormal.
Dalam pandangan Toto, setidaknya, ada tiga hal teknis yang potensial berefek buruk jika Pilkada serentak tetap ngotot digelar pada 2024. Pertama, dari aspek kesiapan penyelenggara Pemilu (KPU) yang sangat diragukan.
Kedua, dari aspek keamanan, sangat potensial mengundang konflik yang menumpuk dan membuat aparat keamanan sangat kewalahan. Apalagi, di tengah kondisi pemerintah sedang fokus mengatasi wabah covid 19.
Ketiga, dari aspek partisipasi pemilih, juga harus dipertimbangkan karena potensial membuat rakyat malas datang ke TPS alias golput, dan dimanfaatkan oleh para kontestan, baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres, untuk menebar politik uang. Hal ini tentu akan makin memperparah kualitas demokrasi dan Pemilu.