REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- KepolisianMyanmar resmi menahan penasihat negara Aung San Suu Kyi karena ia diduga mengimpor alat-alat komunikasi secara ilegal. Oleh karena itu, Suu Kyi akan ditahan sampai 15 Februari 2021 untuk penyelidikan lebih lanjut. Demikian informasi dalam surat yang diterbitkan kepolisian.
Militer Myanmar mengambil alih pemerintahan secara paksa lewat kudeta pada Senin pagi. Tentara kemudian menangkap Suu Kyi dan Presiden Win Myint, serta sejumlah politisi dan aktivis. Kudeta militer itu langsung dikecam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara Barat.
Dokumen yang diserahkan kepolisian ke pengadilan menyebutkan Suu Kyi mengimpor alat komunikasi radio walkie-talkie. Alat komunikasi itu ditemukan oleh polisi saat mereka menggeledah rumah Suu Kyi di ibu kota Myanmar, Naypyitaw.
Menurut kepolisian, alat tersebut diimpor secara ilegal dan digunakan tanpa izin.
Dalam dokumen tersebut, yang diterima Rabu, Suu Kyi ditahan "untuk keperluan interogasi, pengambilan bukti, dan proses pendampingan hukum setelah petugas menemui tersangka".
Sementara itu, dokumen lain menunjukkan polisi resmi menahan Presiden Win Myint karena ia dinilai melanggar Undang-Undang Tata Kelola Bencana.
Kepolisian, pemerintah, atau pengadilan belum dapat dihubungi untuk diminta tanggapannya terkait masalah itu.
Suu Kyi menjalani tahanan rumah selama 15 tahun mulai 1989 sampai 2010. Lewat tahanan rumah, ia memimpin gerakan demokrasi di Myanmar. Tokoh demokrasi itu masih populer di Myanmar meskipun reputasinya di dunia internasional sempat rusak karena perlakuannya terhadap para pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari rumahnya di Rakhine pada 2017.
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai yang dipimpin oleh Suu Kyi, mengatakan beberapa kantor perwakilannya di daerah telah digeledah oleh kepolisian. NLD mendesak polisi berhenti melakukan penggeledahan karena itu melanggar hukum. NLD merupakan partai pemenang pemilihan umum pada 8 November 2020.
Jenderal Min Aung Hlaing mengambil alih kekuasaan dari Pemerintah Myanmar karena alasan ada kecurangan pada pemilu November tahun lalu. Namun, Komisi Pemilihan Umum di Myanmar membantah tuduhan tersebut.
Kelompok tujuh negara dengan perekonomian terbesar dunia (G7) pada Rabu mengutuk kudeta militer di Myanmar dan mengatakan seluruh pihak harus menerima hasil pemilu.
"Kami meminta militer (Myanmar, red) segera mengakhiri status darurat, mengembalikan kekuasaan ke pemerintahan yang terpilih secara demokratis, dan membebaskan seluruh pihak yang ditangkap secara sewenang-wenang dan menghormati hukum serta prinsip-prinsip hak asasi manusia," kata G7 sebagaimana dikutip dari pernyataan tertulisnya.