REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi pembela hak asasi manusia Amnesty International mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing dan petinggi angkatan bersenjata lainnya. DK-PBB juga diharapkan segera menjatuhkan embargo senjata terhadap Myanmar mengingat berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh militer, termasuk di antaranya kudeta terhadap pemerintahan yang sah di Naypyitaw.
Demikian disampaikan Wakil Direktur Bidang Advokasi Amnesty International, Sherine Tadros, lewat pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut Tadros, aksi sewenang-wenang militer di Myanmar terjadi karena adanya pembiaran dari komunitas internasional dan badan-badan dunia, termasuk DK-PBB. "Yang kita saksikan di Myanmar tidak terjadi tiba-tiba. Kita tidak bisa pura-pura terkejut ada seorang pelanggar HAM yang mengulangi perbuatannya, karena kita juga yang tidak bersikap tegas terhadap mereka," kata Tadros.
Oleh karena itu, Tedros meminta DK-PBB segera menggelar pertemuan khusus untuk membahas situasi di Myanmar. Ia juga berharap DK-PBB mengecam kudeta militer di Myanmar dan penangkapan para pemimpin, aktivis, dan politisi di negara tersebut.
"DK-PBB juga harus meminta seluruh pihak yang ditangkap pada Senin (1/2) segera dibebaskan, jika mereka tidak menuruti permintaan itu, maka mereka seharusnya dapat dianggap melanggar hukum internasional," kata Tedros.
Delegasi dari negara-negara anggota DK-PBB menggelar pertemuan darurat, Selasa, demi membahas situasi di Myanmar. Upaya mengecam kudeta Myanmar diblok oleh China,
Sementara itu militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Militer Myanmar, lewat pernyataan resmi yang dibacakan oleh Myawaddy Television (MWD), mengatakan status darurat ditetapkan untuk mencegah perpecahan antarkelompok masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 417 Konstitusi Negara 2018. Menurut otoritas militer, pemerintah gagal menyelesaikan sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020.
Walaupun demikian, klaim tersebut ditolak oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi di Myanmar. Menurut kelompok itu, kudeta merupakan salah satu cara Jenderal Min Aung Hlaing mempertahankan kekuasaannya lima bulan sebelum ia resmi pensiun pada Juli 2021.