REPUBLIKA.CO.ID, MALANG--Pandemi Covid-19 menyebabkan pengiriman uang dari para pekerja migran untuk keluarganya di Malang terlambat. Hal ini diungkapkan berdasarkan riset para peneliti dari Universitas Brawijaya (UB).
Para peneliti yang terdiri atas Faishal Aminuddin, Saseendran Pallikadavath, Sujarwoto, Keppi Sukesi dan Henny Rosalinda mencatat banyak pekerja migran yang kehilangan pekerjaan. Hal ini membuat mereka tidak dapat mengirimkan uang kepada keluarganya di Indonesia. “Pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan pekerja migran di luar negeri dan keluarga mereka di Indonesia selama pandemi Covid-19," kata Peneliti Keppi Sukesi.
Keppi mengatakan, lokasi penelitian sengaja dilakukan di Kabupaten Malang. Lokasi ini merupakan salah satu daerah yang banyak mengirimkan pekerja migran ke luar negeri.
Para pekerja migran dari Kabupaten Malang umumnya bekerja di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan dan Arab Saudi. Mereka bekerja di sektor domestik seperti asisten rumah tangga atau pekerja pabrik.
Sejak terjadinya pandemi, banyak di antara mereka yang menghadapi permasalahan ekonomi. Situasi ini berakibat pada tersendatnya pengiriman uang ke keluarga mereka di Indonesia.
Para pekerja migran umumnya menghadapi masalah seperti terlambatnya pembayaran gaji. Kemudian pemberhentian pekerjaan bagi mereka yang bekerja di pabrik akibat pandemi. "Sehingga mereka tidak bisa mengirimkan uang kepada keluarga mereka di Indonesia hingga beberapa bulan," katanya, Rabu (3/2).
Selain itu, beberapa dari para pekerja juga menghadapi permasalahan psikologis. Hal ini akibat takut terpapar virus atau tidak bisa kembali ke Indonesia. Anggota peneliti lain, Sujarwoto menjelaskan, timnya melakukan survei terhadap 605 Rumah Tangga dengan 1.926 anggota rumah tangga keluarga migran di Kabupaten Malang. Semua mengalami permasalahan sosial ekonomi. Mereka juga merasakan kekhawatiran terhadap keluarga mereka akibat pandemi Covid-19.
Pada umumnya, keluarga pekerja migran merupakan warga yang berada pada kelas sosial menengah ke bawah. Pendapatan mereka bergantung pada keluarga yang bekerja sebagai migran untuk bertahan hidup. Saat pekerja migran mengalami kendala terkait pengiriman gaji sehingga mereka terkena dampak secara langsung.
Selain itu, isu seperti pengadaan sekolah daring selama pandemi juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi keluarga migran. Banyak dari anak-anak pekerja migran yang kesulitan bersekolah. Hal ini akibat tidak memiliki akses terhadap jaringan internet.
Sujarwoto tak menampik pemerintah telah memberikan bantuan sosial berupa bahan pangan dan kuota internet bagi pelajar. Namun persebaran pemberian bantuan masih belum merata di beberapa wilayah tertentu. "Sehingga keluarga migran yang belum memperoleh bantuan dari pemerintah harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," jelasnya.
Dalam hal kesehatan, para pekerja migran juga mengaku tidak pernah memperoleh bantuan kesehatan dari pemerintah Indonesia. Pemerintah dinilai kurang memperhatikan kondisi kesehatan pekerja migran yang ada di luar negeri. Demikian juga keluarga yang ditinggalkan yang pada umumnya bekerja sebagai petani di desa dan tidak memiliki akses terhadap asuransi kesehatan seperti BPJS.
Untuk informasi, penelitian ini merupakan hasil kerja sama UB dengan Portsmouth University Inggris. Riset ini bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi sosio-ekonomi dan kesehatan para pekerja migran. Hal ini termasuk keluarga yang ditinggalkan selama pandemi Covid-19.