JOMBANG, Suara Muhammadiyah – Secara normatif hampir mayoritas Muslim memahami nilai-nilai perdamaian yang terkandung di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Namun dalam prakteknya selalu bertentangan dengan apa yang dipahami. Dalam menghadapi masalah dan tantangan wasathiyah Islam ini, maka diperlukan energi kolektif bersama, terutama dari dua sayap besar Islam yaitu Muhammadiyah dan NU.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menerangkan bahwa fanatisme beragama merupakan salah satu keyakinan untuk meyakini agama secara mendalam dan kuat. Hal ini secara otentik dapat dibenarkan dan menjadi sesuatu yang normal pada awalnya. Tetapi ketika pemahaman tentang fanatisme beragama itu dipahami secara parsial dalam dimensi bayani tekstual yang tidak utuh, serta tidak ada istiqra’ ma’nawi di dalam memahami ayat dan tidak mencoba mencari hubungan antar ayat, maka yang terjadi adalah pemahaman-pemahaman dangkal yang pada akhirnya melahirkan fanatisme buta pada agama.
“Fanatiknya sudah cukup baik, tapi butanya itu yang gak baik,” ujar Haedar dalam Seminar Nasional Memperingati Haul ke-1 KH. Salahuddin Wahid dengan tema “Memadukan Keberagaman, Bangsa Termajukan” pada Sabtu (6/2/2021).
Haedar mengungkapkan bahwa Islam yang benar harus diyakini dengan tiga perspektif pemahaman, bayani (mendalam), burhani (multi perspektif), dan irfani (luas). “Maka ketika kita hanya mengambil satu aspek pemahaman saja, yakni pemahaman yang mendalam dan kuat tentang Islam, serta mengabaikan perspektif burhani dan irfani, tentu hal tersebut akan menimbulkan pemahaman yang fanatik buta, ekstrim, dan intoleran,” ungkapnya.
Dan lebih parahnya lagi, karena pemahaman yang dangkal dan sempit tentang Islam, dapat menyebabkan seorang muslim mengalami fanatisme buta serta membabi buta. Jika dilihat dari aspek sosiologis, hal tersebut tidak lepas dari faktor traumatik di dalam beragama. Di dalam kelompok masyarakat yang sering terjadi konflik beragama, kesadaran beragama mereka tidak mudah untuk pulih. Mereka cenderung melihat orang lain yang berbeda sebagai ancaman.
“Itulah yang sering disebut dengan faktor traumatik di dalam beragama, yang kemudian melahirkan sikap destrifasi relatif, selalu reaktif, konfrontatif di dalam melihat persoalan,” jelasnya.
Traumatik ini tidak hanya disebabkan karena konflik, tapi juga karena kegagalan-kegagalan umat Islam di masa lampau. Sehingga melahirkan generasi baru yang memendam dendam generasi terdahulu yang gagal. Hal ini sering terjadi dan bahkan menjadi bagian dari etos perjuangan, membangkitkan kejayaan masa lalu yang gagal.
Dan faktor berikutnya adalah foktor politik (perebutan kepentingan). Faktor ini sangat kuat. Ketika secara kolektif setiap orang bisa bersatu dalam keragaman. Akan tetapi setelah mendapatkan bujuk rayu tentang kekuasaan, terjadilah perpecahan haingga permusuhan. Ketika hal ini membawa kepada arus kolektifitas maka akan terjadi gesekan yang lebih besar dan lebih mematikan. Hal inilah yang sering membentuk kita menjadi ekstrim, eksklusif, dan intoleran. “Jika sudah seperti ini sulit bagi kita untuk keluar dari jebakan-jebakan fanatisme buta,” pesannya.
Haedar menambahkan, karakter sosiologis masyarakat Indonesia yang sesungguhnya adalah moderat. Dan sejarah yang membentuk masyarakat Indonesia menjadi sebuah bangsa besar juga merupakan karakter moderat. Nusantara dalam dimensi keindonesiaan saat itu (sebelum kemerdekaan), dalam perbedaan yang tinggi dan sangat kental, kita bisa bersatu. Dan secara keagamaan, kita hampir tidak pernah berperang.
“Saat agama Hindu menjadi agama mayoritas, Islam datang dengan damai dan tanpa peperangan. Proses inilah yang sebenarnya kita sebut sebagai proses moderasi yang ada di dalam karakter setiap masyarakat Indonesia,” papar Haedar. (diko)