REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana meminta DPR RI melibatkan penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut dia, pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) saat ini masih menjadi perdebatan di parlemen saja.
"Seharusnya DPR tidak hanya bersepakat secara politis saja untuk mereka melanjutkan atau tidak terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu, tetapi juga beban penyelenggara, aspirasi penyelenggara pemilu untuk pelaksanaan pemilu serentak 2024 seharusnya juga diikutsertakan, mereka didengar," ujar Ihsan dalam diskusi daring Maju Mundur Revisi UU Pemilu, Ahad (7/2).
Semestinya sejak awal, ia mengatakan, perdebatan revisi UU Pemilu sudah melibatkan masukan dan saran dari penyelenggara. Sehingga, ia mengatakan, bukan hanya berkutat pada suara fraksi partai politik di DPR maupun pendapat pemerintah saja.
Sebab, kata Ihsan, penyelenggara pemilu menjadi pihak yang sangat terdampak atas pemberlakuan UU Pemilu, beban penyelenggara dalam pelaksanaan pemilu sangat bergantung pada revisi UU Pemilu ini. Banyak persoalan terkait penyelenggaraan pemilu yang seharusnya bisa diakomodasi melalui revisi UU Pemilu.
Ihsan menuturkan, revisi UU Pemilu bukan hanya mempermasalahkan seputar jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), sistem pemilu, atau ambang batas parlemen (presidential threshold) yang diperdebatkan anggota partai politik di DPR. Banyak persoalan lain yang belum dibenahi, seperti permasalahan proses penegakan hukum pemilu hingga pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu.
Permasalahan tersebut sebenarnya memang telah diakomodisi melalui sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya, ada 15 putusan MK terkait penyelenggaraan pemilu yang seharusnya ditindaklanjuti melalui revisi undang-undang.
Ihsan mendorong agar DPR secara cermat menginventarisasi pasal-pasal yang bermasalah dalam UU Pemilu saat ini. Selain itu, ada beberapa ketentuan-ketentuan yang perlu dievaluasi, dibenahi, atau dilengkapi demi mendapatkan desain pelaksanaan pemilu yang optimal.
Dengan demikian, kata Ihsan, keputusan mengenai revisi atau tidaknya UU Pemilu harus benar-benar tepat. Alasan merevisi UU Pemilu seharusnya tidak hanya berdasarkan pada alasan politis saja.
"Jangan hanya memberikan narasi bahwa Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Pilkada tidak perlu dilakukan revisi karena undang-undangnya misalnya baru dipakai sekali dalam konteks kepemiluan, tetapi tidak punya proyeksi yang cukup untuk mengevaluasi apakah perlu atau tidak dilakukan revisi," kata Ihsan.