REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari terakhir, eks organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) kembali jadi perbincangan hangat publik di media sosial. Mereka diduga tengah membranding FPI sebagai teroris, yang telah dibubarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pihak Kepolisian diharapkan cepat merespons atas tuduhan tersebut.
"Asumsi seperti ini (branding) tidak mudah dibuktikan. Penegak hukum tentunya harus berdasar fakta dan bukti atas branding teroris FPI yang dikaitkan dengan kelompok teroris FPI," ungkap Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad saat dihubungi melalui pesan singkat, Ahad (7/2).
Suparji menegaskan, saat ini, adalah momentum bagi pihak Kepolisian, untuk buktikan implementasi konsep presisi. Kemudian sekaligus menepis adanya asumsi dan spekulasi branding tersebut.
"Maka, jika tidak cepat diklarifikasi, tidak menutup kemungkinan asumsi masyarakat terhadap kasus branding teroris untuk FPI semakin mencuat," ucapnya.
Suparji tidak membantah, asumsi bahwa branding terorisme untuk FPI berkaitan dengan kasus menjerat anggota polisi dan juga FPI sendiri. Karena, polisi memang lebih agresif mengusut kasus pada saat FPI jadi terduga atau tersangka dibanding saat jadi korban. Hanya saja, kecurigaan masyarakat tersebut tidak bisa dibuktikan.
"Kecurigaan tersebut mengemuka di sebagian masyarakat, tapi lagi-lagi tidak bisa dibuktikan," kata Suparji.