REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Kudeta yang dilakukan militer Myanmar pada 1 Februari lalu telah menuai kecaman dan protes dari dunia internasional. Di dalam negeri, puluhan ribu warga Myanmar dilaporkan turun ke jalan untuk menentang kudeta tersebut pada Ahad (7/2).
Militer telah menjadi institusi paling kuat di Myanmar sejak negara tersebut merdeka dari Inggris pada 1948. Jenderal Aung San, yang merupakan ayah dari pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, adalah arsitek di balik kemerdekaan negara tersebut.
Jenderal Aung San mendirikan Tentara Nasional Burma dengan bantuan Jepang pada awal 1940-an. Namun dia dibunuh pada 1947. Tatmadaw (sebutan populer untuk militer Myanmar) menikmati warisannya dan terus mendapatkan dukungan publik yang kuat di tahun-tahun mendatang. Hal itu karena militer dipandang sebagai pihak yang membebaskan Burma (sebutan AS dan Inggris untuk Myanmar) dari penindasan kolonial.
Dilaporkan laman Aljazirah, sejak awal Tatmadaw menikmati kontrol tak terbatas atas kancah politik negara. Sejarawan terkemuka Myanmar Thant Myint-U dalam bukunya The Hidden History of Burma: Race, Capitalism, and the Crisis of Democracy in the 21st Century menyebut negara modern Burma lahir sebagai pendudukan militer.
Setelah periode semi-demokrasi yang singkat, militer yang dipimpin Jenderal Ne Win menguasai Myanmar melalui kudeta pada 1962. Setelah kudeta, militer segera melarang semua partai oposisi dan menasionalisasi industri serta bisnis utama negara tersebut. Ia juga memperkenalkan "Jalan Burma Menuju Sosialisme", sebuah ideologi yang mengakibatkan kehancuran ekonomi dan nyaris mengisolasi Myanmar secara total dari komunitas internasional.
Baca juga : Milter Myanmar Blokir Twitter dan Instagram
Pada tahun 1988, rakyat Myanmar, yang dipimpin para aktivis mahasiswa, melakukan protes nasional. Mereka menyoroti kekacauan tata kelola ekonomi oleh junta militer. Para mahasiswa menuntut reformasi demokrasi. Militer Myanmar menindak aksi demonstrasi secara brutal dan menyebabkan sekitar 5.000 orang tewas. Usai serangkaian protes yang dikenal sebagai Pemberontakan 8888 itu, Ne Win digulingkan dan Myanmar kembali dipimpin junta militer.
Militer memang berhasil menghentikan protes dan demonstrasi. Namun mereka tak dapat membungkam seruan yang terus berkembang untuk demokrasi. Pada tahap ini, militer kehilangan hampir semua dukungan publik. Pada tahun sama, Aung San Suu Kyi mendirikan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Dia mulai menekan pemerintah militer untuk menggelar pemilu.