REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Depati Amir merupakan tokoh lokal Muslim dari Bangka Belitung yang memiliki peran besar dalam melakukan perlawanan terhadap penjahahan Belanda. Dia adalah seorang pejuang Bangka Belitung yang kemudian berdakwah di Pulau Tomor, terpatnya di Kupang.
Depati Amir lahir di Bangka Belitung pada 1805 masehi. Leluhurnya adalah bangsawan Bangka yang mengabdi pada Kesultanan Pelembang. Dia merupakan putra dari Depati Barin, pemimpin lokal dengan wilayah kekuasaan Kampung Mendara dan Mentandai.
Dalam buku Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung, Erwiza Erman menjelaskan, depati sendiri adalah gelar yang diberikan Sultan Palembang kepada para elite di Bangka.
Dalam catatan Belanda dikemukakan bahwa Depati Amir adalah figur yang memiliki toleransi yang tinggi. Dia tidak hanya mementingkan segolongan agama semata, namun juga mengajak secara bersama umat agama lain, atau suku bangsa lain dalam upaya berjuang melawan Belanda di Bangka Belitung.
Seperti diketahui, selain warga Melayu Bangka, kuli-kuli parit timah asal Tionghoa juga ikut berjuang bersama Amir dalam melawan penjajah. Lewat jaringan ini, penyelundupan senjata lewat Singapura yang dibarter dengan timah dapat diperoleh pasukan Amir untuk mempersenjatai diri.
Dalam laporan penelitian Prof Dr M Dien Madjid dan timnya berjudul Berebut Tahta Di Pulau Bangka: Ketokohan Depati Amir Dalam Catatan Belanda, LP2M UIN Jakarta juga menuliskan bahwa dalam perjuangannya melawan Belanda Depati Amir dibantu teman-temannya yang beretnis China.
Di antaranya adalah King Tjoan seorang mantan mandor tanah (di Blinyu), Budjang Singkep, Akei Asan (si Hasan), Oeibin, Bengol, Tata, Dayo, Dasum, Ko So Sioe seorang mantan centeng china di tambang Singlo Sungailiat, Lannang Amo, The Ling le, Lo Adijien, Iksam Moksin dan Katak seorang etnis China dari Pangkalpinang.
Di antara orang-orang China itu mempunyai tugas khusus dalam jejaring pasukan Depati Amir. Ada yang bertugas dalam hal memasok senjata siap pakai seperti tombak, klewang dan lainnya. Ada juga yang bertugas membantu pemberontakan di wilayah pertambangan.
Kolaborasi Depati Amir dan orang-orang China itu pun berhasil membuat Belanda kewalahan. Misalnya ketika Depati Amir dibantu puluhan orang China dalam membakar tambang Sungailiat sebelum kemudian dia menjadi orang yang paling dicari Belanda atas kejadian itu. Bahkan, Dien Madjid dan timnya menuliskan peran Tjing yang membantu Amir menebarkan racun pada nasi yang akan dihidangkan kepada tentara Belanda.
“Baik Amir maupun Tjing, dipandang Belanda sebagai sepasang pejuang yang berbahaya. Dalam korespondensi lintas pemerintah, nama-nama mereka kerapkali disebutkan sebagai tokoh penting biang keladi kerusuhan di Bangka. Keduanya ibarat representasi dua etnis dominan yang mendiami pulau Bangka, Melayu dan China,”
Sementara di kalangan pribumi, nama Demang Sura Menggala menjadi tokoh yang membatu dalam hal penggalangan dana untuk perjuangan Depati Amir dan pasukannya. Belanda tak tinggal diam, berbagai upaya dilakukan untuk menangkap Depati Amir.
Dalam surat Kapten Komandan Infanteri ke I Doorschodt kepada mayor komandan militer Bangka pada 14 Juli 1850 (surat tersebut ada di Arsip Nasionl Republik Indonesia) mengisahkan pada 23 Juli 1850, Belanda memperoleh informasi terait rencana Depati Amir dan pasukannya yang akan berkumpul di sebuah perkampungan bernama Pako. Atas informasi tersebut, Belanda pun membuat rencana penyerangan tiba-tiba.
Sebanyak 50 opsir dan 25 barisan pasukan berangkat untuk melakukan penyerangan terhadap pasukan Depati Amir. Namun setibanya di Pako, Belanda tak menemukan Depati Amir dan pasukannya. Belanda pun akhirnya membakar kampung tersebut.