REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) berkaitan dengan penggunaan seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah negeri jenjang sekolah dasar hingga menengah, belum lama ini.
SKB 3 Menteri yang dirilis itu dikeluarkan untuk mencegah adanya kebijakan intoleransi mengenai seragam yang diterapkan sekolah. Meski demikian, kebijakan tersebut masih mengundang kontroversi karena dinilai tidak mencerminkan tujuan pendidikan yang mencakup pembinaan iman dan takwa. Untuk itu, Republika.co.id mewawancarai pengamat pendidikan yang juga Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) Dr Adian Husaini mengenai SKB 3 Menteri itu. Berikut kutipannya:
Bagaimana pendapat Anda dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah?
Sudah banyak sekali respon, di Sumatra Barat sudah banyak ulama yang mengkritisi, menolak itu. Ada juga pernyataan dari Aisyiyah juga beberapa tokoh MUI, jadi tampak menurut saya pentingnya SKB 3 Menteri ini dimusyawarahkan kembali bersama tokoh-tokoh Islam terutama MUI, Organisasi Islam, karena selama ini kita perlu ingat bahwa ini sifatnya untuk sekolah pemerintah tapi kan tidak bisa lepas dari aspek pendidikan. Jadi seharusnya masalah SKB yang menyakut masalah pakaian, itu masalah yang sensitif. Masalah keagamaan ini sebaiknya dimusyawarahkan saja lah dengan lembaga-lembaga Islam.
Apa saja yang perlu dipertimbangkan lagi dalam SKB 3 Menteri Ini?
SKB 3 Menteri ini juga perlu memperhatikan aspek pembinaan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Jadi bukan sekadar masalah kebebasan, ini (justru) yang menonjol itu soal masalah kebebasan bahwa jangan dipaksakan. Itu satu poin yang betul, bahwa aspek kebebasan itu penting karena memang ada banyak kasus juga yang dialami oleh siswi Muslimah yang terhambat mengenakan pakaian muslimah, masih ada lah. Tetapi tidak cukup dengan aspek kebebasan itu, perlu juga dipikirkan aspek pembinaan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Seperti amanah amanah UUD 1945 pasal 31 ayat 3. Itukan amanahnya jelas, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Di sinilah pentingnya soal pembinaan iman takwa dan akhlak mulia ini memang ada aspek pendisiplinan, mungkin istilah yang tepatnya pembiasaan. Jadi dalam menanamkan akhlak itu kan ada aspek pembiasaan, aspek keteladanan, dan dalam pembiasaan ini memang beberapa aspek diperlukan. Dan umat Islam ini memahami masalah pakaian ini masalah ibadah, jadi itu bukan hal yang sepele. Buka hanya masalah kebebasan saja. Jadi saya sangat setuju bahwa SKB ini juga perlu memperhatikan aspek metode pendidikan akhlak.
Dan juga aspek kekhasan, keunikan, keistimewaan. Misalnya di Aceh boleh, sekarang orang Sumatera Barat tanya kenapa di Sumatera Barat tidak boleh? kan ini untuk internal umat Islam, tidak memaksa non muslim untuk menggunakan. Nah itu setuju tidak memaksa non muslim untuk mengenakan pakaian muslimah. Tapi untuk di kalangan internal umat Islam dan di dalam wilayah sekolah itu kan boleh saja orang buat peraturan dan itu kan juga tidak memberatkan. Selama ini kan banyak sekolah-sekolah negeri yang kalau hari jumat saya perhatikan siswanya itu pakai rok panjang, bagus kan proses pendidikan dengan berpakaian yang menutup aurat.
Ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua daerah, tapi untuk daerah tertentu di mana budaya Islam menjadi ciri khas itu kan boleh. Tidak menghalangi orang beragama lain. Yang jadi problem itu kan kalau mengharuskan, misalkan begini di Bali dulu pernah kasus kan, muslimah engga boleh pakai kerudung, itu kan tidak boleh karena itu kan keyakinan orang muslim. Di Manokwari kan pernah ada usulan Perda yang melarang jilbab.
Jadi menurut saya perlu juga dipertimbangkan kondisi. Kuncinya di musyawarah, di komunikasi. Juga tidak asal memaksa, engga begitu. Dilihatkah kondisinya sehingga tidak menjadi kontroversi seperti itu.
Bagaimana pendapat anda bahwa sekolah yang tidak melaksanakan SKB itu akan diberi sanksi?
Itu kan diketahui sebagai ancaman, yang tidak melaksanakan dikasih sanksi. Tadi saya bilang, Itu kan kondisinya berbeda, keberagaman masing-masing darah itu kan perlu diperhatikan juga tetap menghormati pemeluk agama lain. Kan mungkin saja setiap sekolah itu berbeda, orang-orang tidak keberatan kok diminta mengenakan jilbab, bahkan di beberapa kampus kan ada orang yang non muslim yang tidak keberatan.
Jika ada siswi yang menolak mengenakan jilbab, bagaimana menurut Anda?
Selama ini kan kalau sekolah itu sekolah negeri kan boleh-boleh saja. Cuma kan tetap dalam batas kan. Engga asal menolak, itu kan bisa dibicarakan, itu kan engga perlu kaku. Misalnya oke harus begini, tapi dalam kondisi khusus kasih saja klausul aja bahwa misalnya kepala sekolah bisa memberikan pertimbangan khusus sesuai dengan kemaslahatan.
Jadi jangan kaku. Maksud saya, yang lebih tahu kondisinya sekolah itu kan kondisi di situ. Misalnya satu sekolah ada non muslimnya kemudian mau musyawarah, kami engga keberatan kok, ya sudah engga apa-apa, pasal itu kan tetap begitu.
Berpakaian baik bagi Muslim menutup aurat itu kan baik. sekolah itu lembaga pendidikan iman takwa akhlak mulia tujuannya. Salah satu bentuk manifestasi iman takwa itu kan berpakaian menutup aurat. Sekarang ada siswi non muslim yang menolak itu, ya kan tinggal dibicarakan, jadi secara umum begitu. Tapi kasih klausul bahwa penerapan ini memperhitungkan misalnya kondisi setempat dan diberikan kebijakan misalnya ke kepala sekolah menyesuaikan penerapan dengan keadaan di tempatnya masing-masing. Intinya komunikasinya yang baik, musyawarah.