REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BPJS perlu terus memastikan keberlangsungan arus kas yang positif di masa depan. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyampaikan dengan berakhirnya masa kepengurusan BPJS 2016-2020 maka perlu strategi untuk memastikan keberlanjutan kinerja yang positif.
"Kita harus bisa menakar apa surplus ini permanen atau hanya sementara," katanya dalam Public Expose BPJS Kesehatan, Senin (8/2) yang dilakukan secara virtual.
Tulus mengatakan selama ini masyarakat mendengar bahwa BPJS Kesehatan selalu defisit sejak dilahirkan hingga 2019. Sehingga capaian surplus pada 2020 sebesar Rp 18,7 triliun menjadi harapan baru pada pengelolaan yang lebih baik.
Tulus menjabarkan, angka defisit pada 2018 sebesar Rp 9,1 triliun dan pada 2019 melonjak menjadi Rp 16 triliun. Semula, pada 2020 pun sempat diprediksi defisitnya hingga Rp 32 triliun.
Kendati laporan 2020 itu masih level unaudited, tetapi tergambar dengan gamblang posisi arus kas BPJS Kesehatan sampai Desember 2020 tercatat Rp 18,74 triliun. Tulus mengatakan indikator lainnya pun bernuansa positif.
Utang Jamkesmas tercatat hanya Rp 1,9 triliun, plus klaim dalam proses verifikasi juga sangat kecil, yaitu Rp 1,16 triliun. Bandingkan dengan fenomena 2019 saat arus kas posisinya minus Rp 15,5 triliun, dan utangnya mencapai Rp 17,07 triliun.
Klaim dalam proses verifikasi saat itu mencapai Rp 2,18 triliun. Tulus menambahkan, kendati arus kasnya surplus, namun posisi finansial secara keseluruhan belum bisa dinyatakan sehat.
"Sebab posisi aset bersihnya masih minus Rp 6,35 triliun, memang hal ini sudah mengalami perbaikan dari 2019 yang aset bersihnya minus sebesar Rp 10,7 triliun," katanya.
Postur finansial BPJS Kesehatan tersebut masih sejalan dengan PP No. 84 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jamkesmas. Pasal 37 menyebut bahwa kesehatan keuangan aset dana Jamkesmas diukur berdasarkan aset bersih dana Jamkesmas.