REPUBLIKA.CO.ID, Terdakwa perkara dugaan suap penghapusan red notice, Irjen Napoleon Bonaparte, tidak hentinya ingin meyakinkan hakim adanya pihak lain yang bertanggung jawab dalam skandal Djoko Sugiarto Tjandra. Dalam persidangan kemarin, Napoleon kembali mengajukan sebuah rekaman yang disebut percakapan antara dirinya dengan Tommy Sumardi saat berada di sel tahanan. Namun, 'nyanyian' Napoleon itu tidak disambut mulus.
Rekaman itu disebut merupakan bukti fakta terkait perkara suap penghapusan daftar buron Djoko Tjandra yang menjerat dirinya, Brigjend Prasetijo Utomo, dan pengusaha Tommy Sumardi. "Ya, ada (pertemuan dengan Tommy Sumardi pada 14 Oktober 2020)," kata Napoleon dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2).
Soal pertemuan itu ditanyakan oleh pengacara Napoleon, Santrawan T Paparang dalam sidang pemeriksaan terdakwa tersebut. Santrawan pun meminta izin kepada majelis hakim untuk mendengarkan dan melihat rekaman itu. Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung langsung menyelak dengan mempertanyakan sumber bukti rekaman tersebut.
"Mohon izin yang mulia, barangkali dijelaskan terlebih dahulu bagaimana bisa mendapatkan rekaman tersebut dan segala macam. Sesuai dengan Perma," kata Jaksa Erianto. Jaksa menilai cara Napoleon mendapat rekaman itu dilakukan secara ilegal dan tak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
Padahal, rekaman tersebut diklaim kubu Napoleon sebagai bukti fakta terkait perkara suap penghapusan red notice yang sedang dipersidangkan. "Maksud dari pertanyaan kami yang mulia, ketika putusan Perma Nomor 20 Tahun 2016 terkait informasi atau dukungan elektronik untik sebagai barang bukti, maka harus dipastikan dan diperiksa terlebih dahulu," terang jaksa.
Pengacara Napoleon menjelaskan, percakapan antara Napoleon dan Tommy direkam saat mereka berada dalam sel tahanan. "Kondisinya kami jelaskan, pada tanggal 14 Oktoer 2020, terdakwa berada di dalam tahanan, Tommy Sumardi berada di dalam tahanan, dan Irjen Prestijo juga berada di dalam tahanan," terang Santrawan.
Hanya saja, tak dijelaskan secara rinci soal asal-usul rekaman tersebut. Pun tak disampaikan apakah rekaman itu berkaitan dengan perkara dugaan suap penghapusan red notice atau tidak.
"Makanya mohon izin, untuk melakukan penilaian, kami rasa saudara jaksa penuntut umum tidak bisa menilai, makanya kami serahkan kepada yang mulia, karena ini adalah fakta, persoalan diterima atau tidak kami serahkam kepada yang mulia," sambung Santrawan.
Namun, jaksa tetap bersikukuh menolak rekaman percakapan ketiga terdakwa tersebut diperdengarkan di ruang sidang. Ketua Majelis Hakim, Muhammad Damish kemudian memutuskan tidak memutar rekaman tersebut. "Bagaimana kalau diserahkan ke Majelis Hakim agar didengar dan dianalisa," kata Hakim Damis.
Dalam perkara ini, Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar AS dan 270 ribu dolar AS. Suap diberikan agar menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice Interpol Polri, karena saat itu Djoko masih berstatus DPO dalam kasus hak tagih Bank Bali.
Usai persidangan, Santrawan mengungkapkan isi dalam rekaman percakapan tersebut sangatlah sensitif. Pihaknya berjanji akan menguraikannya dalam nota pembelaan atau pledoi. "Terlalu sensitif isinya," kata dia kepada Republika.