REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) pada tahun ini memprediksi adanya kenaikan permintaan LPG baik bersubsidi maupun nonsubsidi. Untuk bisa memenuhi permintaan dalam negeri Pertamina akan mengimpor 7,2 juta metrik ton LPG.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan tahun ini memang mengalami peningkatan impor LPG karena permintaan yang naik. Dibandingkan tahun lalu, pertamina mengalami penambahan impor sebesar 1 juta metrik ton.
"Pada tahun lalu, kami mengimpor LPG sebesar 6,2 juta metrik ton. Sedangkan di 2019 kami mengimpor 5,8 juta metrik ton," ujar Nicke di Komisi VII DPR RI, Selasa (9/2).
Nicke menjelaskan selama ini Pertamina masih banyak melakukan impor LPG karena produksi dalam negeri masih berkisar 995 ribu metrik ton dari kilang domestik dan 1 juta metrik ton dari kilang pertamina. Namun, produksi dalam negeri ini lebih baik daripada tahun lalu.
"Tahun lalu dari kilang pertamina sendiri mampu produksi 912 ribu metrik ton LPG. Angka ini juga naik dibandingkan 2019 sebesar 889 ribu metrik ton. Sedangkan dari kilang domestik lainnya pada tahun lalu produksi 929 ribu metrik ton dan kilang pertamina sebesar 912 metrik ton," ujar Nicke.
Direktur Pertamina Trading dan Komersialisasi Mas'ud Khamid menjelaskan dari sisi konsumsi sendiri untuk LPG subsidi memang mengalami kenaikan dari semula di tahun lau sebesar 7,14 juta metrik ton naik menjadi 7,5 metrik ton.
"LPG Subidi ini terus meningkat dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan juga target penerima PSO. Jadi tiap tahun ada pertumbuhan 4,5 sampai 5 persen. 2021 ini terjadi kenaikan 5 persen dari 7,14 menjadi 7,5 juta metrik ton," ujar Mas'ud di lokasi yang sama.
Sedangkan untuk penjualan LPG non-PSO, pertamina mentargetkan bisa menjual sebesar 1,6 juta metrik ton. Mas'ud berharap masyarakat bisa beralih dari penggunaan LPG bersubdsidi ke LPG nonsubsidi agar bisa meringankan beban subsidi APBN.