REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Inggris telah menolak seruan untuk mengakhiri penjualan senjata ke Arab Saudi. Langkah itu berbeda dengan sekutu utamanya, Amerika Serikat (AS).
Dalam salah satu dari banyak pembalikan kebijakan dari era Donald Trump, pemerintahan baru Presiden AS, Joe Biden, menangguhkan penjualan senjata ke Riyadh dan Uni Emirat Arab. Upaya ini didasarkan karena kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia dan dugaan kejahatan perang di Yaman.
"Keputusan yang diambil AS tentang masalah penjualan senjata adalah keputusan untuk AS. Inggris mengambil tanggung jawab ekspor senjatanya sendiri dengan sangat serius, dan kami terus menilai semua lisensi ekspor senjata sesuai dengan kriteria perizinan yang ketat," ujar Menteri Luar Negeri Inggris, James Cleverly.
Cleverly berargumen bahwa lisensi penjualan senjata Inggris dikeluarkan dengan sangat hati-hati. Upaya ini untuk memastikan bahwa lisensi tersebut tidak mengarah pada pelanggaran hukum humaniter.
Antara 2010-2019, 40 persen ekspor senjata Inggris pergi ke Arab Saudi. Menurut kelompok hak asasi yang berbasis di Inggris, Campaign Against Arms Trade (CAAT), senjata senilai 11 miliar poundsterling telah dijual oleh Inggris ke Riyadh sejak 2008. Peningkatan terbesar dalam ekspor senjata terjadi pada 2015 pada awal gerakan yang dipimpin Saudi di Yaman.
Pada 8 Juli, pemerintah Inggris mengumumkan akan melanjutkan pemberian izin baru untuk penjualan senjata ke Arab Saudi dan koalisi lainnya yang membom Yaman. Padahal, Juni tahun lalu, Pengadilan Banding memutuskan bahwa penjualan senjata Inggris ke Arab Saudi melanggar hukum. Pemerintah Inggris juga terpaksa mengeluarkan permintaan maaf setelah melanggar janjinya sendiri untuk tidak memberikan lisensi ekspor senjata ke kerajaan yang dapat digunakan dalam konflik.