REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Palestina di Gaza untuk menghambat penyebaran virus Covid-19 memiliki dampak ekonomi yang cukup serius. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah angka pengangguran di Jalur Gaza sejak pandemi virus corona menyebar di Jalur Gaza.
Sami Al-Amsi, Kepala Federasi Umum Serikat Dagang di Jalur Gaza menjelaskan, tingkat pengangguran di Jalur Gaza yang hingga kini masih diblokade Israel meningkat sebesar 17 persen, dan kini 82 persen dari total populasi di Gaza tidak memiliki pekerjaan, sebagaimana dilaporkan Middle East Monitor pada November 2020.
Menurut rilis resmi dari Federasi Umum Serikat Dagang di Jalur Gaza, pandemi corona telah berdampak langsung maupun tidak langsung kepada lebih dari 160.000 pekerja akibat banyak perusahaan yang terpaksa merumahkan banyak karyawannya.
“Sektor transportasi umum telah lumpuh total. Ada sekitar 15 ribu hingga 20 ribu orang yang bekerja di sektor tersebut. Sektor konstruksi yang mempekerjakan sekitar 40 ribu orang juga telah berhenti beroperasi. Sementara itu, dari sekitar 21 ribu orang yang bekerja di sektor industri, hanya 8.000 orang yang dapat kembali bekerja. Selain itu, lebih dari 4.000 nelayan juga seringkali menjadi korban serangan Israel,” papar Al-Amsi.
Dia menambahkan, banyak para pekerja yang harus bekerja dalam jangka waktu yang lebih panjang setiap harinya hanya untuk menerima upah rendah. Jam kerja berkisar antara sepuluh hingga tiga belas jam setiap harinya dengan upah harian yang berkisar antara 15 hingga 35 shekel (Rp 64 ribu hingga Rp 149.500) dalam kondisi yang terbaik.