REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri tak mau mencoreng nama baik keluarga Maaher lantaran penyakitnya sangat sensitif. Itulah yang menjadi alasan Kadiv humas Polri, Irjen Argo Yuwono yang enggan mengungkap penyakit yang diderita oleh Soni Eranata atau Ustaz Maaher At-Thuwailibi sebelum meninggal di Rutan Bareskrim Polri.
"Ini bisa berkaitan dengan nama baik keluarga almarhum. Jadi, kita tidak bisa sampaikan secara jelas dan gamblang sakitnya apa karena penyakitnya adalah sensitif, ini masalahnya," ujar Argo dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (9/2).
Sebelum meninggal, Maheer sempat mendapatkan perawatan di RS Polri, Kramat Jati. Perkara Maaher sendiri sudah masuk tahap 2 dan sudah diserahkan ke kejaksaan. Sebelum barang bukti dan tersangka diaerahkan ke jaksa atau tahap 2, Maaher mengeluh sakit.
Kemudian, petugas rutan termasuk tim dokter membawanya ke RS Polri Kramat Jati. Setelah diobati dan dinyatakan sembuh yang bersangkutan dibawa lagi ke Rutan Bareskrim. Setelah tahap 2 selesai barang bukti dan tersangka diserahkan ke jaksa, Maaher kembali mengeluh sakit.
"Lagi-lagi petugas rutan dan tim dokter menyarankan agar dibawa ke RS Polri tapi yang bersangkutan tidak mau sampai akhirnya meninggal dunia," ujar Argo.
Dalam kasus yang menjeratnya, almarhum Maaher ditetapkan sebagai tersangka karena diduga telah melakukan penghinaan terhadap Habib Luthfi. Dia dijerat Pasal 45 ayat (2) Juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Penangkapan Ustaz Maaher sendiri dilakukan untuk menindaklanjuti adanya laporan polisi bernomor LP/B/0677/XI/2020/Bareskrim tertanggal 27 November 2020. Ia ditangkap terkait unggahan ujaran kebencian di akun media sosial Twitter @ustadzmaaher.