REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Rr Laeny Sulistyawati
Salah satu kegagalan dalam upaya menekan penyebaran kasus Covid-19 adalah kurang masifnya upaya 3T yaitu tracing, testing, dan treatment. Pemerintah pun mengejar ketinggalan 3T terutama dari segi tracing dan testing dengan mendorong peningkatan testing menggunakan rapid diagnostic test (RDT) antigen.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menetapkan penggunaan RDT antigen, sebagai salah satu metode dalam pelacakan kontak, penegakan diagnosis, dan skrining Covid-19 dalam kondisi tertentu. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/446/2021 tentang Penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen dalam Pemeriksaan Covid-19.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan, RDT antigen merupakan metode pemeriksaan laboratorium secara cepat dan langsung dalam waktu kurang dari setengah jam. "Jadi, antigen untuk memperkuat di hulu 3T, di antaranya testing dan tracing," katanya saat konferensi virtual Kemenkes mengenai Penjelasan RDT Antigen untuk Pemeriksaan Covid-19, Rabu (10/2).
Ia menambahkan, ada tiga syarat untuk menggunakan RDT antigen yaitu pertama masuk dalam daftar milik organisasi kesehatan dunia PBB (WHO), kemudian kedua mendapatkan persetujuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Anerika Serikat (FDA) dan ketiga disetujui badan pengawas obat di Eropa. Ia menambahkan, kalau kandidat RDT antigen ini belum memenuhi syarat tersebut tetapi memiliki sensitivitas lebih dari 80 persen maka RDT antigen dapat digunakan.
Kriteria itu dalam rangka menjaga kualitas supaya RDT antigen bisa ikut mendeteksi virus kemudian menurunkan penularan dengan isolasi dan karantina. "RDT antigen ini akan disediakan di pusat kesehatan mayarakat (puskesmas) dan pengadaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah," ujarnya.
Namun, ia menegaskan RDT antigen ini digunakan hanya untuk kepentingan penelusuran kontak. Kemudian, dia melanjutkan, tes ini disediakan pemerintah secara gratis kepada masyarakat melalui puskesmas dan hanya dapat dipergunakan untuk keperluan pelacakan epidemiologi.
“Ini (rapid test antigen) digunakan untuk kepentingan epidemiologi, jadi untuk mendiagnosis,” katanya.
Kemudian, dia melanjutkan, hasil dari pemeriksaan RDT Antigen akan dicatat dan dilaporkan sebagai kasus terkonfirmasi positif sama seperti hasil tes swab polymerase chain reaction (PCR). Namun dalam sistem pelaporannya, dilakukan pemisahan mana yang berasal dari pemeriksaan RDT Antigen dan mana yang berasal dari RT PCR.
“Penggunaan rapid test antigen harus tetap memperhatikan sejumlah kriteria, diantaranya pemilihan, penggunaan, fasilitas pemeriksaan dan petugas pemeriksa, pencatatan dan pelaporan, penjaminan mutu pemeriksaan, hingga pengelolaan limbah pemeriksaan,” katanya.
Terkait dengan kriteria penggunaan, ia menambahkan pemeriksaan menggunakan rapid test antigen hanya dapat dilakukan saat fase akut, atau dalam waktu tujuh hari pertama sejak muncul gejala. Hal ini untuk meningkatkan performa tes. Di lain pihak, Nadia mengakui pemeriksaan dengan antigen ada kemungkinan akan meningkatkan jumlah kasus. Namun demikian Nadia mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak panik.
"Jauh lebih baik mengetahui data yang sesungguhnya, sehingga strategi penanganan yang tepat dapat dilakukan," ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah telah melakukan sejumlah langkah meliputi meningkatkan kapasitas rumah sakit (RS), serta menambah jam layanan, kesiapan obat-obatan dan alat kesehatan di rumah sakit terus dipantau, dan menambah jumlah tenaga kesehatan dan vaksinator. Kemudian terkait upaya pelacakan kasus, Kemenkes bekerja sama dengan pihak TNI/Polri melakukan pelacakan hinga ke seluruh desa, kabupaten/kota, dan RT serta RW di tujuh provinsi di Jawa dan Bali yang melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro. Sebelum diterjunkan ke wilayah kerjanya masing-masing para Babinsa, Babinpotmar, dan Babinpot Dirga akan diberi pelatihan menjadi pelacak Covid-19.
Langkah Indonesia menggunakan tes antigen konon mengadopsi India yang sukses menekan penularan Covid-19 dengan strategi tes antigen yang masih. Kasus positif Covid-19 di India menunjukkan penurunan sejak September 2020.
Kala itu kasus Covid-19 harian berada di kisaran angka 80-90 ribu per hari. Namun lewat upaya penanganan ketat, penularan terus berkurang hingga mencapai 9-10 ribuan saja di awal Februari 2021.
Tercatat 10,8 juta warga India terinfeksi Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 10,5 juta diantaranya sudah sembuh. Angka kematiannya yaitu 155 ribu orang.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, mengatakan kasus Covid-19 di India patut menuai perhatian karena turunnya kasus secara drastis. Kondisi ini terjadi bukan karena India menurunkan kapasitas testing. Prof Zubairi mendapati laporan menyebutkan jika kesibukan ICU rumah sakit di India justru menyusut.
"Ilmuwan penasaran. Mereka pun cari tahu kenapa kasus di India menurun dramatis, justru sebelum vaksinasi dimulai," kata Prof Zubairi di akun Twitter pribadinya @ProfesorZubairi pada 6 Februari.
Prof Zubairi memaparkan ada yang mengatakan jika kasus Covid-19 menurun drastis di India karena berhasil meningkatkan testing. Dengan begitu masyarakat bisa ke rumah sakit lebih awal hingga membuat angka kematian turun.