REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bisnis energi terbarukan (ET) makin dilirik perusahaan minyak dan gas (migas) internasional. Pasalnya, kebutuhan energi ke depan diprediksi bakal terus meningkat.
Mantan wakil menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, sejatinya margin bisnis dari ET jauh lebih rendah daripada migas. Sebuah studi di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa cost of capital untuk bisnis migas berada di sekitar tujuh persen, sementara untuk perusahaan utilitas dan power di sekitar empat persen (ET).
Selain biaya modal yang tinggi, perusahaan migas berharap return on investment (ROI) sekitar 3,9 persen di atas cost of capital. “Sementara perusahaan utility dan power bisa menerima ROI sekitar 2,3 persen di atas cost of capital mereka,” kata Arcandra, Rabu (10/2).
Dengan margin yang lebih rendah tersebut, lalu apa yang membuat perusahaan migas asal Eropa mau menekuni ET. Arcandra mengatakan, setidaknya ada enam faktor yang mendorong perusahaan-perusahaan itu beralih ke ET. Pertama, saat ini cadangan migas memang cukup besar dan memungkinkan untuk dikembangkan secara efisien berada di negara yang semakin maju dalam pengelolaan dan pengembangan migas. Seperti di Timur Tengah, Venezuela, Libya, Rusia dan Iran.
Di negara-negara tersebut, International Oil Company (IOC) sulit untuk masuk karena industri migas dikuasai perusahaan milik negara masing-masing. Semangat untuk mengembangkan sumber daya alam secara mandiri dan sitem politik yang dipakai, menjadi tantangan yang tidak mudah bagi IOC Eropa seperti Shell, Total, BP, Equanor dan lainnya untuk masuk.
Kedua, pendanaan untuk eksplorasi dan produksi migas semakin sulit dibandingkan dengan ET. Jika ada lembaga keuangan yang mendanai proyek migas, mereka akan mengenakan biaya yang tinggi. Ini sejalan dengan risiko bisnis migas yang juga terus meningkat.
Ketiga, pajak karbon. Di Eropa, setiap produksi karbon dikenakan pajak antara 1 euro per ton dan 100 ton per euro. “Besaran pajak yang harus dibayar perusahaan migas ini akan sangat memberatkan, apalagi dengan risiko bisnis migas yang sangat tinggi,” kata Arcandra.
Keempat, dengan level harga minyak saat ini dan prediksi ke depan, banyak proyek migas tidak lagi menguntungkan. Artinya, risiko bisnis yang makin lama makin tinggi mengakibatkan risiko keuangan juga naik. Selama tahun 2020 misalnya, Shell melakukan writedown asetnya sekitar 22 miliar dolar AS, sementara Exxonmobile 20 miliar dolar AS.
Kelima, adanya kebutuhan dari negara negara yang selama ini sangat bergantung dari impor minyak seperti Cina, Jepang dan India untuk lebih mandiri dari sisi energi. Terakhir, banyak perusahaan migas di Eropa merasa khawatir terhadap sikap kritis masyarakat terhadap faktor pencemaran lingkungan yang sering ditujukan kepada mereka.
Situasi tersebut bisa mendorong berbagai class action dan menjadi sentimen negatif bagi pelaku usaha migas. “Oleh karenanya, sebelum class action terjadi, mereka secara perlahan mulai beralih ke bisnis ET,” pungkas Arcandra.