REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau kepada perbankan untuk mewaspadai kredit yang berisiko besar di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai. Tercatat sepanjang 2020 kredit perbankan nasional terkontraksi minus 2,41 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan loan at risk merupakan indikator risiko atas kredit yang disalurkan yang terdiri atas kredit kolektibilitas 1 yang telah direstrukturisasi, kolektibilitas 2 atau dalam perhatian khusus, serta kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
"Ada risiko kredit perlu kita cermati dari dampak restrukturisasi. Saat ini LaR (loan at risk) masih cukup besar dan membuat kita berhati-hati mengelola perbankan kita ke depan," ujarnya saat konferensi pers virtual, Kamis (11/2).
OJK mencatat restrukturisasi perbankan per Januari 2021 sebesar Rp 971,1 triliun. Menurutnya jika ekonomi tidak membaik, maka LaR berpeluang menjadi kredit bermasalah.
Namun OJK optimistis kredit perbankan bisa tumbuh kisaran tujuh persen sampai delapan persen pada tahun ini. Sedangkan rencana bisnis bank (RBB) yang sudah disampaikan ke regulator memperlihatkan target pertumbuhan kredit sebesar 7,13 persen.
"OJK menyampaikan kredit akan tumbuh 7,5 persen plus minus satu persen,” ucapnya.
Heru menyebut pertumbuhan kredit pada tahun ini bukan hanya tergantung pada industri perbankan, namun juga permintaan dari dunia usaha. Hal ini tergantung bagaimana perbankan merespons dan demand kredit seluruhnya bisa muncul dan perbankan bisa mengambil peran.
“Kalau ditangani baik, berbagai kebijakan pemerintah lancar, vaksinasi lancar, kita optimis pertumbuhan kredit akan tumbuh tujuh persen sampai delapan persen,” ucapnya.