Jumat 12 Feb 2021 06:13 WIB

Ali Khendar, Mualaf yang Tersentuh Nilai Islam dan China

Ali Khendar menemukan kesamaan nilai agung Islam dan China

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Ali Khendar menemukan kesamaan nilai agung Islam dan China
Foto: Dok Istimewa
Ali Khendar menemukan kesamaan nilai agung Islam dan China

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ali Khendar (49 tahun) merupakan pria keturunan Tionghoa. Ayahnya merupakan imigran dari China sedangkan ibunya merupakan peranakan Tionghoa yang sudah lama menetap di Indonesia. 

Ali hidup di lingkungan keluarga yang beragama Buddha. Sejak kecil dia merupakan anak yang taat beribadah bahkan aktif di wihara. Selain itu untuk pendidikan, sejak TK dia bersekolah di sekolah Katolik.   

Sedangkan keluarganya hanya sekadar menjalankan ritual saat hari-hari besar saja. Meski dia orang yang taat, sejak SD dia telah mengenal dan mempelajari Islam.  

Perkenalannya dengan Islam memang tidak sengaja. Di rumahnya ada pria yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.  

Dia biasa memperbaiki peralatan rumah tangga sehingga hanya datang ketika dipanggil. Pria tersebut merupakan seorang Muslim. Dan sering menjadi teman bermain Ali juga berdiskusi ketika Ali beranjak remaja. 

Ali juga sangat senang mempelajari sejarah dan kebudayaan asal negaranya, terutama aksara China. Satu ketika dia mempelajari kata mandarin "天"(dibaca :Thian) artinya Tuhan.  

"Dalam aksara China, kata Tuhan terdiri dari dua huruf, 一arti esa dan 大arti besar. Jadi seharusnya orang China tidak akan menyekutukan Tuhan tetapi mengesakan Tuhan,"ujar dia kepada sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika

Setelah itu dia banyak mempelajari akar kata mandarin kemudian mengaitkan dengan ajaran Islam. Ternyata banyak sekali akar aksara China yang berkaitan dengan ajaran Islam.  

Hal ini Ali pelajari hingga SMA, namun hidayah belum sampai kepadanya sehingga dia belum memutuskan untuk memeluk Islam. 

Baru saat dia kuliah dan harus putus kuliah, dia berani untuk bersyahadat. Itupun setelah melakukan diskusi panjang dengan pria yang bekerja di rumahnya. 

Ali bersyahadat pada 26 September 1996. Sebelum bersyahadat, Ali telah banyak mempelajari ibadah harian seperti sholat dan puasa. 

Puasa ini dia praktikan sejak SMA dan ketika Ramadhan meskipun tidak penuh selama 30 hari. Paling lama dia hanya bertahan 10 hari, setelahnya dia kadang puasa kadang batal.  

"Satu hari saat Ramadhan saudara dan teman SMA tahu tentang dia yang sedang berpuasa, saya sempat disindir karena katanya saya dianggap ikut kebohongan Laksamana Cheng Ho,"ujar dia. 

Diakui Ali, di kalangan Tionghoa Indonesia, ada cerita sejarah yang diyakini mereka. Bahwa sebenarnya ketika Cheng Ho datang ke Indonesia, itu demi membohongi orang Indonesia khususnya orang Jawa.  

Kemudian orang Tionghoa di masa kini yakin bahwa Cheng Ho bukan Muslim, karena saat berpuasa dia dinilai membohongi orang Jawa. Saat itu karena keyakinan orang Jawa itu Hindu, Chengho pun bercerita dia  berpuasa dan di Hindu Jawa juga ada puasa yang disebut pati geni.  

Bagi keyakinan mereka, berpuasa itu hanya makan disaat akan mulai berpuasa baru di haro terakhir puasa selesai, mereka akan makan seperti biasa. Ketika Cheng Ho berpuasa 30 hari,  dipikiran mereka, dia akan makan di hari pertama sebelum berpuasa dan kembali makan di hari ke 30.

Padahal sebagai Muslim, perbedaannya puasa... 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement