REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sejarah telah banyak mencatat hal penting terutama tokoh-tokoh yang tidak diketahui masyarakat umum. Salah satunya tentang tokoh bersejarah bernama Tan Po Gwan.
Sejarawan dari Pusat Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya (UB), FX Domini BB Hera, menjelaskan, Tan Po Gwan merupakan menteri negara pertama yang mengurusi peranakan Tionghoa di Indonesia. Pria kelahiran 1911 ini teman dekat dari Perdana Menteri Indonesia pertama, Sutan Syahrir. Dia dipercaya memegang jabatan tersebut mulai 2 Oktober 1946 sampai 3 Juli 1947.
"Beliau ini yang mengurusi integrasi kewarganegaraan Tionghoa ke dalam status Warga Negara Indonesia (WNI)," kata pria disapa Sisco ini dalam kegiatan diskusi daring, beberapa waktu lalu.
Kehadiran kementerian urusan peranakan dilatarbelakangi kondisi yang dirasakan masyarakat Tionghoa kala itu. Pada awal masa kemerdekaan, mereka masih bingung mengenai kepastian kemerdekaan di Indonesia. Faktanya, Indonesia baru bisa benar-benar lepas dari kolonialisme setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949.
"Selama revolusi empat tahun itu, mereka kebingungan. Apakah Belanda datang lagi, apakah nanti kita ke Tiongkok saja. Apakah nanti Indonesia merdeka?" ucap Sisco yang juga peneliti sejarah di Pusat Studi Heritage Nusantara, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Dari situasi tersebut, Pemerintah RI pun mendirikan Kementerian Negara yang di dalamnya mengurus peranakan Tionghoa. Meski tanpa departemen, Tan Po Gwan banyak mengurusi hal-hal yang tidak mudah.
Ketika Tan Po Gwan menjadi menteri, terdapat satu peristiwa mengerikan di Tangerang. Saat itu, masyarakat Tionghoa dicap sebagai kronik Belanda dan sebagainya. Situasi ini menimbulkan kerusuhan dan pembantaian terhadap kalangan Tionghoa.
Pembantaian terhadap Tionghoa terus terjadi sampai jabatan Tan Po Gwan digantikan oleh Siauw Giok Tjhan. Setelah peristiwa di Tangerang, terjadi hal serupa di Malang, yakni 25 orang Tionghoa dibantai di Mergosono. Kemudian terjadi kembali di daerah-daerah lainnya, baik di Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng) dan sebagainya.
"Saya rasa itu situasi yang tidak mudah waktu masa jabatan dua orang itu," ungkap Sisco.
Masalah kewarganegaraan
Sejarawan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Bambang Purwanto dalam buku 'Praktik Kebangsaan di Indonesia dalam Perspektif Historiografis' mengungkap tentang jenjang kelas di masyarakat dari masa kolonial hingga kemerdekaan. Posisi jenjang kelas memang berubah tapi tidak pada substansinya. Masyarakat Bumiputra yang semula berada di posisi terbawah berubah menjadi paling atas.
Sementara untuk kalangan Tionghoa tidak mengalami perubahan sama sekali sejak masa kolonial sampai kemerdekaan. Masyarakat Tionghoa tetap tidak dianggap sebagai orang Indonesia asli. "Dan paling bawah adalah orang asing atau Indo. Sebenarnya yang babak belur itu Indo ya. Masa kolonial dianggap nggak murni, masa kemerdekaan dianggap asing. Kacau sekali konsesi seperti ini praktiknya," katanya.
Sisco tak menampik integrasi kewarganegaraan setelah Indonesia merdeka masih jauh dari harapan pejuang kemerdekaan. Indische Partij misalnya pernah mengadakan kongres pada 25 Desember 1912. Di kongres tersebut, para petinggi menyatakan siapapun yang lahir dan besar di Indonesia merupakan warga negara yang kelak dimerdekakan.
Sayangnya, pernyataan Indische Partij hanya suara lain dari mayoritas yang ada. Pada masa pergerakan, Sarekat Islam (SI) misalnya belum bisa menerima anggota dari Hadramaut atau wilayah Arab. Begitu pula Budi Utomo yang pada masanya hanya untuk kalangan Jawa.
Kalangan yang justru sangat menerima percampuran ras berasal dari organisasi buruh. Pada 1908, saat Budi Utomo berdiri terdapat pula organisasi buruh bernama Vereniging van Spoor en Tramweg. Personeel (VSTP). Sejak awal berdiri, keanggotaan organisasi ini sudah bermacam-macam, yakni Tionghoa dan Jawa lalu pengurusnya dari Belanda.
"Nanti ada transisi, yang semula pengurus Belanda saja kemudian kombinasi Belanda dan Bumiputra. Selanjutnya, saat Semaun jadi ketua VSTP, selebihnya Bumiputra terus jadi pengurus organisasi," jelasnya.
Dari fakta-fakta tersebut, Sisco pun meyakini, tidak semua organisasi memiliki kesadaran kelas di masa pergerakan maupun kemerdekaan. Hanya beberapa yang mempunyai kesadaran pentingnya bersentuhan dengan kalangan tertindas maupun kelas bawah. Di sini, VSTP pada 1908 dan Indische Partij pada 1912 jelas sudah lebih cepat menyadarinya.