REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Wakil Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Nada al-Nashif mengatakan setiap sanksi yang dijatuhkan kepada Myanmar terkait kudeta harus ditargetkan secara hati-hati. Sanksi mesti ditujukan kepada mereka yang bertanggung jawab guna menghindari kerugian masyarakat serta orang-orang rentan.
“Sanksi apa pun yang sedang dipertimbangkan harus dengan hati-hati ditargetkan terhadap individu tertentu yang secara kredibel diduga telah melanggar hak-hak masyarakat. Para pemimpin kudeta ini adalah fokus yang tepat dari tindakan seperti itu," kata al-Nashif saat berbicara di depan Dewan HAM PBB, Jumat (12/2).
Amerika Serikat (AS) diketahui telah menjatuhkan sanksi ekonomi kepada sejumlah pejabat militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing. Washington memblokir akses militer terhadap dana sebesar 1 miliar dolar AS yang disimpan di negara tersebut.
Al-Nashif memperingatkan Myanmar bahwa dunia tengah memantau dan menyaksikan perkembangan situasi di negara tersebut. “Perintah keras telah dikeluarkan pekan ini untuk mencegah pertemuan damai dan kebebasan berekspresi, dan kehadiran polisi serta militer di jalanan telah tumbuh secara progresif selama beberapa hari terakhir," ucapnya.
Dia menegaskan penggunaan senjata mematikan atau tidak mematikan secara serampangan terhadap pengunjuk rasa tidak dapat diterima. Dalam sesi di Dewan HAM PBB, para diplomat mempertimbangkan rancangan resolusi yang menuntut pembebasan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
Baca juga : AS Ajak ASEAN Berikan Sanksi Bagi Myanmar
Pada kudeta 1 Februari lalu, Suu Kyi dan Presiden Win Myint serta beberapa tokoh senior partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ditahan militer.
Teks resolusi turut menuntut pemulihan pemerintah yang dipilih secara demokratis dan pencabutan pembatasan secara langsung serta permanen terhadap internet, telekomunikasi dan media sosial. Resolusi juga mendesak akses penuh dan tidak terbatas ke Myanmar untuk pengamat HAM PBB.