REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Penyidik HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan pada Jumat bahwa Dewan Keamanan PBB harus mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar pasca-kudeta. Andrews menyebut telah ada laporan yang meningkat dan bukti foto bahwa pasukan keamanan menggunakan amunisi untuk menangani massa aksi unjuk rasa--dan itu melawan hukum internasional.
"Sanksi tersebut juga termasuk embargo senjata dan larangan berpergian," kata Andrews. Ia juga menegaskan kembali permintaannya untuk menjalankan misi di Myanmar.
Sementara Nada al-Nashif, Wakil Ketua Komisi Tinggi HAM PBB, menyebut sanksi apapun yang dijatuhkan oleh negara-negara dunia harus berfokus pada para pemimpin junta militer, bukan kelompok rentan.
Lebih dari 350 orang di Myanmar, termasuk para pejabat, aktivis, dan biksu, ditangkap sejak kudeta yang dilancarkan pada 1 Februari lalu. Menurut Komisi Tinggi HAM PBB, ada beberapa yang mendapat dakwaan kejahatan dengan dasar yang diragukan.
"Kepada Dewan, kami merekomendasikan seruan terkuat yang memungkinkan untuk otoritas militer menghormati hasil pemilu, mengembalikan kekuasaan pada kendali sipil, dan segera membebaskan semua individu yang ditahan sewenang-wenang," kata Nada dalam pidato di hadapan Dewan HAM PBB.
Duta Besar Myanmar untuk PBB, Myint Thu, mengatakan bahwa pihaknya akan terus kooperatif dengan PBB dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). "Kami tidak ingin menggagalkan peralihan ke demokrasi yang baru dimulai di Myanmar," kata dia.
Baca juga : Ribuan Pengunjuk Rasa Kembali Penuhi Jalan-Jalan di Myanmar