REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Kamis (11/2) mengumumkan akan mengalihkan dana bantuan senilai 42,2 juta dolar AS (sekitar Rp 589,5 miliar) yang semula akan diberikan ke Pemerintah Myanmar. Keputusan itu diumumkan setelah USAID meninjau kembali berbagai program bantuan AS di Myanmar pascakudeta militer di Naypyitaw pada 1 Februari 2021.
"Kami akan mengalihkan dana bantuan ini untuk mendukung dan memperkuat masyarakat sipil daripada membantu militer," kata USAID, dikutip dari pernyataan resminya.
USAID menyebut pihaknya masih akan mendukung warga sipil di Myanmar lewat berbagai program bilateral senilai 69 juta dolar AS (sekitar Rp 964 miliar). Departemen Luar Negeri AS pada Selasa (9/2) mengumumkan Washington akan meninjau kembali seluruh program bantuan yang diberikan ke Myanmar setelah junta militer mengkudeta pemerintah.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengatakan evaluasi itu dilakukan demi memastikan mereka yang bertanggung jawab terhadap kudeta militer menerima "balasan yang signifikan" atas perbuatannya.
Price menyampaikan Pemerintah AS mengecam kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap para pengunjuk rasa yang menolak kudeta militer di Myanmar. AS meminta junta militer Myanmar menahan diri dan tidak menggunakan kekuasaannya untuk melukai warga sipil.
Baca juga : Ribuan Pengunjuk Rasa Kembali Penuhi Jalan-Jalan di Myanmar
Tidak hanya AS, Selandia Baru, Selasa (9/2), mengumumkan pemerintah akan memastikan program-program bantuan yang diberikan ke Myanmar tidak melibatkan dan menguntungkan junta militer.
"Kami mengirim pesan tegas bahwa kami akan melakukan apapun dari sini di Selandia Baru dan salah satunya adalah menghentikan dialog tingkat tinggi ... serta memastikan dana bantuan yang kami berikan ke Myanmar tidak mendukung rezim militer," kata Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern.
Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah, Senin lalu (1/2). Militer menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi.
Tidak lama setelah kudeta, militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing.