REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali lolos dari sidang pemakzulan keduanya pada Sabtu (13/2). Itu setelah hasil pemungutan suara dalam sidang tidak mencukupi untuk memutuskan Trump bersalah, terkait dugaan dia sebagai pemicu kerusuhan Capitol Hill.
Sebanyak 57 senator memutuskan Trump bersalah. Lainnya, 43 suara, memutuskannya tidak. Untuk dapat memakzulkan, diperlukan dua pertiga suara atau dari 67 senator AS. Hasil tersebut didapatkan setelah persidangan lima hari di Capitol Hill.
Ada tujuh dari 50 senator Partai Republik (partainya Trump) bergabung dengan Partai Demokrat mendukung pemakzulan Trump. Mereka adalah Richard Burr, Bill Cassidy, Susan Collins, Lisa Murkowski, Mitt Romney, Ben Sasse, dan Pat Toomey.
Pemimpin Senat Republik Mitch McConnell memilih tidak bersalah dalam voting di sidang ini. Namun, ia tidak menampik kalau Trump memang memiliki tanggung jawab secara moral dalam kerusuhan tersebut.
"Tidak diragukan lagi bahwa Presiden Trump secara praktis dan moral bertanggung jawab untuk memprovokasi peristiwa hari itu. Orang-orang yang menyerbu gedung ini percaya bahwa mereka bertindak atas keinginan dan instruksi presiden mereka," ujarnya.
Pembebasan Trump memang tidak mengakhiri kemungkinan tuntutan lain terhadapnya. Kongres juga masih bisa memrosesnya, misalnya melalui mosi. Mitch McConnell mengatakan, Trump sekarang adalah warga sipil dan menurutnya dia masih bisa menghadapi tuntutan kriminal atas perilakunya. “Ia belum lolos dari apapun. Belum,” kata McConnell.
Sementara itu Ketua DPR Nancy Pelosi mengatakan langkah para senator Republik untuk memutuskan Trump tidak bersalah sebagai sikap tidak terhormat. “Salah satu hari terkelam dan aksi paling tidak terhormat dalam sejarah negara kita," ungkap dia. Pelosi menyebut sikap para Republlikan yang menolak hanya demi melepaskan diri mereka dari kasus tersebut.
Donald Trump bukan kali pertama selamat dari sidang pemakzulan. Pemakzulan terhadapnya juga pernah dilakukan pada 18 Desember 2019 setelah DPR menyetujui pemakzulan atas dasar penyalahgunaan kekuasaan dan menghalang-halangi Kongres. Trump waktu itu diduga menggunakan kuasanya untuk memata-matai kandidat presiden 2020 Joe Biden.