REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kedutaan Besar Negara Barat di Myanmar pada Ahad (14/2) meminta militer setempat agar "menahan diri dari kekerasan menghadapi demonstran dan warga sipil" setelah pasukan keamanan melepaskan tembakan untuk membubarkan massa. Pasukan militer juga mengerahkan kendaraan lapis baja di sejumlah kota.
Melalui pernyataan yang dirilis pada Ahad (14/2), Kedutaan Besar Uni Eropa, Britania Raya, Kanada dan 11 negara lainnya mengecam penangkapan pimpinan politik dan pelecehan terhadap awak media pasca kudeta 1 Februari. Pernyataan itu juga mengecam putusnya komunikasi militer.
"Kami mendukung rakyat Myanmar dalam pencarian mereka atas demokrasi, kebebasan, perdamaian serta kemakmuran. Dunia sedang menyaksikannya," bunyi pernyataan tersebut.
Militer mengambil alih kekuasaan sipil dengan alasan pemilihan umum yang dimenangi pemimpin politik yang juga peraih Nobel Perdamaian Auang San Suu Kyi berlangsung curang. Para pemimpin dunia, termasuk Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dan Paus Fransiskus mengecam tindakan militer mengudeta pemerintahan sipil itu. Presiden AS Joe Biden mengatakan dalam pidatonya bahwa tidak diragukan lagi dalam demokrasi kekuatan militer tidak dapat membatalkan hasil pemilu.
Baca juga : Protes Warga Myanmar Berlanjut