REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) gugur dalam Pemilu 2019 lalu. Anggota Komisi II DPR Mohamad Muraz mengkhawatirkan jumlah petugas yang gugur pada Pemilu 2024 nanti lebih parah dibanding pemilu 2019 silam.
"Ya itulah yang kita khawatirkan, bahkan mungkin saja lebih parah dari pemilu 2019 karena Pemilu 2024 akan tambah giat pemilu kada (kepala daerah) di bulan November 2024," kata Muraz kepada Republika.co.id, Senin (15/2).
Ia mengatakan, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai petugas akan siap menghadapi Pemilu 2024. Namun, ia meragukan kesiapan unsur masyarakat yang akan menjadi anggota KPPS nantinya.
"Sebagai kelompok terdepan pelaksana pemungutan suara dengan risiko beban kerja sangat tinggi dan faktual tahun 2019 lebih dari 800 orang meninggal dan lebih dari 5.000 orang sakit," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu melakukan survei terhadap kesediaan masyarakat dalam pencoblosan nanti. Sebab, menurutnya, pada pemilu 2019 lalu banyak masyarakat yang hanya mencoblos presiden, sementara surat suara yang lain tidak dicoblos karena pusing.
Selain itu, hal lain yang juga dikhawatirkan adalah kemunculan pelaksana tugas (Plt) kepala daerah. Politikus Partai Demokrat itu mengatakan bila tidak ada pilkada 2022 dan 2023, maka akan ada kurang lebih 278 penjabat (Pj) Kepala Daerah dengan masa jabatan lebih dari dua tahun. Selain itu di tahun 2024 nanti akan ada sebanyak 270 daerah yang diisi oleh pelaksana tugas (Plt) kepala daerah.
"Saya yakin perilaku kepemimpinan Pj dan Plt kepala daerah akan sangat berbeda dengan kepala daerah dalam membangun daerah dan mensejahterakan masyarakatnya karena seorang Pj/Plt tentu akan lebih cenderung taat pada yang mengangkat daripada memperhatikan masyarakat di daerah," terangnya.
Menurutnya secara politis tidak mustahil para Pj dan Plt kepala derah saat pemilu nanti akan cenderung mengarahkn kepada partai penguasa yang mengangkatnya. Oleh karena itu Partai Demokrat tetap berharap ada revisi UU Pemilu dan normalisasi pemilu kepala daerah seperti yang disuarakan partai-partai pendukung pemerintah pada prolegnas prioritas tahun 2020.
"Kan menjadi aneh dulu mereka menyuarakan sekarang malah ingin menghentikannya," ungkapnya.
"Kalau Pemerintah menyatakan UU Pemilu dan Pilkada ini nggak perlu direvisi karena belum dilaksanakan. Masa kita lupa bukankah pilkada 2017, 2018 dan 2020 serta pemilu presiden dan legislatif itu pelaksanaan UU No.10 Tahun 2016 dan UU No. 7 Tahun 2017?" kata dia.