Senin 15 Feb 2021 09:53 WIB

Legislator: SKB Seragam Picu Konflik Kewenangan Pusat-Daerah

Secara tata urutan perundangan, SKB tidak bisa memerintahkan untuk membatalkan perda.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah
Foto: istimewa
Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah menanggapi soal desakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta agar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal seragam sekolah direvisi. Ledia menilai SKB tersebut dapat memicu konflik kewenangan pusat dan daerah. 

"Secara tata urutan perundang-undangan, SKB tidak bisa memerintahkan untuk membatalkan perda," kata Ledia kepada Republika.co.id, Senin (15/2).

Baca Juga

Ledia menjelaskan, SKB tersebut melarang di sekolah negeri di bawah pemerintah daerah untuk memaksakan siswa menggunakan seragam berdasarkan keagamaan. Menurutnya, beberapa peraturan daerah tentang seragam berdasarkan keagamaan, selalu disebutkan bagi yang memeluk agama tersebut.

Karena itu, tidak ada pemaksaan bagi pemeluk agama lain. "Jikapun terjadi kasus perintah mencopot jilbab di Bali, maupun menggunakan jilbab di Padang harus dilihat sebagai perilaku oknum kecuali jika jelas-jelas perdanya menyatakan demikian," ujarnya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta SKB tiga menteri ini direvisi. MUI menilai revisi ini bertujuan agar SKB tiga menteri tidak memicu polemik, kegaduhan, serta ketidakpastian hukum.

Dalam Tausiyah MUI terkait SKB tiga menteri, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Buya Amirsyah Tambunan menyampaikan bahwa MUI menekankan agar SKB ini dibatasi pada pihak yang berbeda agama. Ia menjelaskan, klausul pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan tertentu bisa dimaknai luas dan beragam. 

Baca juga : Wali Kota Pariaman Tolak SKB Tiga Menteri

"Implikasi ini harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama, sehingga terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain," kata Buya Amirsyah melalui pesan tertulis yang diterima, Sabtu (13/2). 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement