REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad menilai, aktivitas buzzer bisa memecah belah bangsa. Sebelumnya MUI mengingatkan kembali aktivitas buzzer di media sosial yang menyajikan informasi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan sejenisnya hukumnya haram.
"Saya kira buzzer dari pihak manapun ini perilaku tidak jujur dan tidak jantan, apalagi pakai nama anonim, itu (aktivitas buzzer) konsekuensinya memecah belah bangsa," kata Prof Dadang kepada Republika, Senin (15/2).
Menurutnya, aktivitas buzzer juga menurunkan kredibilitas demokrasi. Dengan adanya buzzer, lanjut dia, orang-orang tidak mau memberikan saran dan tidak mau mengkritik karena para buzzer selalu merespon dengan kata-kata yang menyakitkan, menyudutkan dan melabeli orang lain dengan gelar yang buruk.
Ia menegaskan, buzzer dari pihak manapun aktivitasnya tidak baik. Karena itu setuju dengan pernyataan MUI yang mengharamkan buzzer.
"Kehebatan bangsa-bangsa lain karena kejujuran dan menghargai pendapat, di kita ini dengan latar pendidikan penduduk yang tidak begitu bagus, lalu banyak kata-kata yang kasar, menyakitkan, mendiskreditkan, saya setuju dengan MUI bahwa ini (buzzer) haram," ujarnya.
Menurut Prof Dadang, agama manapun sama saja memandang tidak baik aktivitas buzzer. Ia menilai aktivitas buzzer bisa dilarang jika ada kemauan dari aparat penegak hukum. Tujuannya agar bangsa dan negara tenang, aman dan damai.
Sebelumnya, MUI telah menetapkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Dalam fatwa tersebut, di antaranya membahas mengenai hukum aktivitas buzzer.
Ketua Bidang Fatwa MUI, Kiai Asrorun Niam Sholeh mengatakan, memproduksi, menyebarkan dan membuat dapat diaksesnya konten, informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian dan hal-hal lain sejenisnya terkait pribadi orang lain atau khalayak, hukumnya haram. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya juga haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.