REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Seorang warga Maryland, Amerika Serikat, Lindsey, menyadari dirinya mengalami gejala Covid-19 pada pertengahan Desember 2020. Pasangannya bahkan mengalami demam tinggi. Enam hari kemudian, hasil tes memastikan mereka berdua menderita Covid-19.
Lindsey tahu, dia harus memberi tahu para tetangganya di apartemen tempatnya tinggal. Ia tinggal di bangunan dengan corak tahun 1920-an di pinggiran Maryland yang terkadang bau masakan masing-masing 'rumah' sering menyusup ke apartemen mereka.
"Saya memberi tahu tetangga saya bahwa kami terinfeksi (corona) dan kami akan siap menutup ventilasi," katanya.
Penularan virus melalui udara yang menyebabkan Covid-19 telah menjadi bahan perdebatan dan kebingungan selama setahun terakhir. Selama berbulan-bulan, pakar kesehatan masyarakat secara terbuka tidak setuju tentang seberapa jauh virus dapat menyebar setelah dikeluarkan melalui napas orang yang terinfeksi, yang mengakibatkan rentetan virus. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika telah berulang kali membantah kemungkinan ini.
Meski demikian, November lalu, sekelompok 239 ilmuwan menulis surat terbuka kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan badan nasional dan internasional lainnya yang mendesak agar penularan melalui udara ditanggapi dengan serius. Mereka menyebut, bukti yang ada menunjukkan bahwa virus yang dilepaskan melalui pernapasan, bicara dan batuk dapat tetap melayang di udara dan menimbulkan risiko infeksi pada jarak puluhan meter.
Penularan virus antarkamar, bahkan apartemen, dianggap lebih kecil kemungkinannya namun begitulah cara Lindsey dan istrinya yang sedang hamil berusaha untuk menghindari virus. Ia percaya bahwa mereka akhirnya jatuh sakit di satu tempat yang mereka anggap aman.