REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mendukung sikap pemerintah yang membuka ruang dengan DPR untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mengatakan rencana tersebut sejalan dengan pandangan PKS yang beberapa tahun terakhir mengusulkan agar UU ITE direvisi dan dimasukkan ke dalam prolegnas.
"Karenanya, kami menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE," kata Sukamta kepada Republika.co.id, Selasa (16/2).
Sukamta menilai, dari sisi masyarakat revisi tersebut tentu bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat. Namun dari sisi pemerintah, ia melihat revisi tersebut sudah agak terlambat, karena proses revisi UU yang memakan waktu satu hingga dua tahun pembahasan.
"Kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi. Jadi jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka," ujarnya.
Ia mengatakan, UU ITE pada awal pembahasannya sangat mulia untuk memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya (elektronik). Seiring berjalannya waktu, implementasi UU ITE justru lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transkasi ekonomi-bisnisnya.
"Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dianggap pasal karet dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat, hingga banyak korban berjatuhan. Banyak orang dilaporkan, ditangkap dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet," ungkapnya.
Karena itu, Sukamta mengatakan, UU ITE kembali direvisi menjadi UU RI Nomor 19 tahun 2016. Saat itu, beberapa hal direvisi seperti soal pemblokiran situs internet, right to be forgotten (hak untuk dilupakan), penyadapan, penyidikan, dan termasuk pasal pencemaran nama baik yang dikurangi maksimal ancaman pidana penjaranya dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
Ia menuturkan, saat itu Fraksi PKS meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP, agar tidak ada duplikasi pengaturan. Namun, hanya fraksi PKS dan PAN yang dianggap progresif pandangannya terhadap pasal tersebut.
Sukamta yang juga bertindak sebagai anggota Panja Revisi UU ITE saat itu, mengatakan, dalam dinamika pembahasan, mayoritas fraksi pendukung koalisi pemerintah menginginkan pasal tersebut tetap dipertahankan dengan pengurangan maksimal ancaman pidana penjara agar tidak ada lagi kriminalisasi dengan penahanan sebelum putusan hukum tetap dari pengadilan. Hingga akhirnya disahkan revisi UU ITE seperti yang sekarang.
"Pada implementasinya, ternyata masih banyak proses hukum kasus pencemaran nama baik di lapangan yang tidak sesuai dengan spirit revisi tersebut. Malah terakhir kriminalisasi melebar ke pasal-pasal lain seperti pasal soal hoax dan pasal keonaran yang juga dianggap pasal karet," kata dia.
Ia berharap ke depannya revisi UU ITE bisa memberikan kejelasan hukum berasaskan keadilan. "InsyaAllah kami fraksi PKS akan mengawalnya demi masa depan dunia digital dan kedewasaan demokrasi kita," ujar wakil ketua Fraksi PKS tersebut.