REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan menilai tepat jika ada wacana revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Apalagi sebagian besar pasal-pasal di dalamnya sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman.
"Kami sangat terbuka pada ide merevisi UU ITE, karena memang UU ITE ini sudah berusia 13 tahun. Saatnya disesuaikan dengan perkembangan zaman," ujar Farhan saat dihubungi, Selasa (16/2).
UU ITE, kata Farhan, harus menjadi pagar dan otokritik bagi semua pihak. Khususnya dalam memanfaatkan media digital sebagai media kebebasan berekspresi yang dampaknya sekarang terasa sangat besar.
"Media digital juga sudah berkembang secara teknologi dengan sangat pesat, tetapi pengaruh sosialnya jauh lebih pesat dan dampaknya jauh lebih luas dari yang kita duga sebelumnya," katanya.
Namun, ia juga mengingatkan, kritik yang disampaikan tidak menggunakan bahasa kasar, rasisme, hingga melecehkan pihak tertentu. Karena hal tersebutlah yang justru mencoreng kebebasan berekspresi.
"Maka saatnya sekarang kita kembali menjunjung nilai kebaikan yang luhur dan memikirkan kembali pilihan kata dan karya yang pantas untuk kita tampilkan di media digital," ujar politikus Partai Nasdem itu.
Diketahui, Presiden Joko Widodo membuka ruang bagi pemerintah duduk bersama DPR untuk merevisi UU ITE. Ia menilai ada pasal-pasal karet yang bisa ditafsirkan secara berbeda oleh setiap individu.
Namun Jokowi tetap memberi catatan, revisi dilakukan dengan tetap menjaga tujuan awal penyusunan UU ITE, yakni menjaga ruang digital Indonesia agar tetap sehat, beretika, penuh sopan santun, serta produktif.
"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini. Karena di sinilah hulunya. Terutama, menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda. Yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.