Selasa 16 Feb 2021 14:20 WIB

Menlu: RI akan Berkontribusi Selesaikan Konflik Myanmar

Keselamatan dan keamanan warga Myanmar harus menjadi prioritas utama.

Konferensi pers virtual usai pertemuan bilateral antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dan Menlu dan Menteri Perdagangan Hungaria Peter Szijjarto, Selasa (16/2)
Foto: Republika/Fergi Nadira
Konferensi pers virtual usai pertemuan bilateral antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dan Menlu dan Menteri Perdagangan Hungaria Peter Szijjarto, Selasa (16/2)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan, Indonesia akan terus berupaya dan berkontribusi secara konstruktif dalam penyelesaian konflik politik di Myanmar. Hal ini menyusul kudeta yang dilakukan militer negara tersebut pada 1 Februari lalu.

“Sejak awal, Indonesia secara konsisten terus menyampaikan kesediaan untuk berkontribusi,” tutur Retno saat menyampaikan pernyataan pers bersama, usai pertemuan bilateral dengan Menlu Hungaria di Jakarta, Selasa (16/2).

Baca Juga

Retno menegaskan, keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar harus menjadi prioritas utama. Ia menilai, upaya untuk mengamankan keberlanjutan transisi inklusif menuju demokrasi di Myanmar perlu terus dikedepankan.

“(Untuk itu) mekanisme kawasan harus dapat bekerja lebih baik untuk secara konstruktif membantu penyelesaian isu yang sulit ini,” ujar dia.

Guna merespons perkembangan situasi di Myanmar, Menlu Retno telah berkomunikasi dengan para menlu ASEAN serta sejumlah menlu, antara lain, India, Australia, Jepang, Inggris, dan Utusan Khusus Sekjen PBB mengenai isu Myanmar.

Retno juga berencana melakukan komunikasi dengan menlu Amerika Serikat dan menlu China untuk membahas isu yang sama.

Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah sipil dan menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politikus dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis prodemokrasi dan HAM Myanmar.

Tak lama setelah kudeta, militer memberlakukan status darurat selama satu tahun yang menempatkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.

Dua hari setelah kudeta, kepolisian Myanmar resmi menangkap Suu Kyi atas tuduhan impor alat komunikasi ilegal. Sementara, Presiden Myint ditangkap karena dianggap melanggar Undang-Undang Tata Kelola Bencana.

Berbagai tindakan tersebut mendorong warga Myanmar untuk turun ke jalan-jalan dan melakukan unjuk rasa damai. Ribuan warga, mulai dari kelompok buruh, pegawai negeri sipil, tenaga kesehatan, mahasiswa, dan aktivis muda menggelar aksi damai menentang kudeta militer serta menuntut otoritas setempat mengembalikan kekuasaan ke pemerintah yang terpilih secara demokratis.

Belakangan, junta militer Myanmar menuai kecaman, terutama dari komunitas internasional karena tanggapan kerasnya terhadap aksi unjuk rasa, bahkan hingga melukai para demonstran.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement