REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan syariah khususnya Bank Syariah Indonesia (BSI) diharapkan segera menggarap potensi pasar yang belum terjamah. Praktisi dan Akademisi Perbankan Syariah, Tika Arundina mengatakan, potensi tersebut ada di pasar dalam dan juga luar negeri.
"Ada untapped market yang potensi kita bisa sangat besar di sana, karena belum banyak pemainnya," katanya, dalam Diskusi Publik Virtual INDEF, Selasa (16/2).
Tika menyampaikan, ekosistem keuangan syariah di dalam negeri belum sepenuhnya terbentuk. Salah satu contohnya adalah perusahaan sekuritas, underwriter, yang khusus untuk instrumen syariah.
Ketidaklengkapan rantai ekosistem ini membuat industri stagnan karena portofolio yang sedikit. Ia mencontohkan, salah satu masalah adalah kurang berkembangnya sukuk korporasi.
"Setelah lakukan riset ternyata memang bottleneck-nya ada di minim underwriter khusus syariah," katanya.
Tika menyebut, BSI dengan kapasitas yang besar bisa memulai pengembangan berbagai anak usaha seperti perusahaan sekuritas. BSI bisa melengkapi rantai ekosistem keuangan syariah tersebut, termasuk juga asuransi, dan lainnya.
Pengembangan berbagai anak usaha tersebut juga bisa menggarap pasar global seperti yang sudah disebutkan BSI. Sehingga, percepatan tumbuhnya portofolio industri keuangan syariah bisa dicapai pada 2025.
Ekonom Syariah INDEF, Fauziah Rizki Yuniarti menambahkan potensi ekonomi syariah pasar global masih sangat besar sehingga tidak bisa dikesampingkan. Proyeksinya mencapai 3,2 triliun dolar AS pada 2024 dan 3,47 triliun dolar AS untuk keuangan syariah.
"Melihat potensinya yang besar, sayang sekali kita hanya menduduki porsi dua persen dari total negara Muslim," katanya.
Ia merujuk pada data IFSB tahun 2020 dengan peringkat pertama Iran sekitar 29 persen, Saudi Arabia 25 persen, dan Malaysia 11 persen. Fauziah mengatakan, pertumbuhan perbankan syariah Indonesia masih sangat lamban dan terlalu lama terjebak di pangsa lima persen.
Menurutnya, lahirnya BSI menjadi satu solusi. Namun butuh upaya bersama dan aksi strategis lain agar bisa mengejar ketertinggalan tersebut. Fauziah mengatakan ini bukan hanya masalah literasi tapi juga mindset masyarakat.
Tujuan dari literasi adalah inklusi sehingga pendekatan harus dimulai dari keluarga, kyai atau ulama dan influencer. Selain itu, perlunya kebijakan pendukung seperti penempatan dana pemerintah dalam volume signifikan.