Prof Suteki: Konsep Radikalisme pada UU Lentur dan tak jelas
Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Radikalisme(ilustrasi) | Foto: punkway.net
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Guru Besar FH Universitas Diponegoro (UNDIP) Profesor Suteki, menilai, konsep radikalisme pada Undang-Undang (UU) bersifat lentur dan tidak jelas. Hanya karena berbeda pendapat dengan mayoritas orang maupun penguasa tak lantas orang tersebut bisa diberi label ekstremisme, radikalisme, maupun teroris.
Demikian dikatakan Suteki pada seminar daring bertema "Menggugat Eksistensi Ektremisme di Indonesia dan Regulasinya" yang digelar Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara ini digelar pada Senin (15/2) melalui kanal Zoom dan YouTube.
Selain mengundang Guru Besar FH Universitas Diponegoro (UNDIP) Profesor Suteki, seminar ini juga mengundang Wakil Rektor IV UMM Sidik Sunaryo dan Guru Besar FH Universitas Padjadjaran (UNPAD) Profesor Dr. Susi Dwi Harijanti sebagai pemateri. Dalam acara ini turut hadir pula Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas sebagai Keynote Speaker.
Kegiatan daring ini dilatarbelakangi isu ekstremisme yang sangat dekat dengan masyarakat. Meskipun begitu, masyarakat sendiri belum mengetahui dengan baik tentang ekstremisme, radikalisme, maupun terorisme. Hal itu menyebabkan masyarakat mudah menandai suatu golongan sebagai ekstremisme.
Suteki mengaku, sering mendapatkan sebutan radikalis maupun ekstremis. Hal ini, hanya karena pendapatnya berbeda dari suatu golongan. Padahal, dia telah memberikan sudut pandang dari kajian ilmiah dan menjelaskan bahwa pendapat tersebut salah.
"Ketika mencoba mendeskripsikan radikalisme menurut UU pun sifatnya sangat lentur sekali,” ungkapnya dalam pesan resmi yang diterima Republika, Selasa (16/2).
Sementara Busyro menceritakan pengalamannya mendampingi para korban sejak zaman orde baru hingga sekarang. Melalui pengalaman tersebut, Busyro melihat masyarakat cenderung mengaitkan Islam dengan radikalisme. "Kenapa selalu orang Islam?" kata Busyro.
Selama ini, hanya umat Islam yang sering dijadikan terdakwa permanen sejak orde baru hingga sekarang. Padahal pemberian label radikal atau ekstremisme kepada seseorang tidak boleh sembarangan. Masyarakat maupun para penegak hukum harus lebih berhati-hati mengenai hal tersebut.
Di kesempatan serupa, Wakil Rektor I UMM Profesor Syamsul Arifin sangat mengapresiasi hadirnya kegiatan diskusi kali ini. Menurut Syamsul, topik ini tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif. "Oleh karena itu, saya sangat senang webinar ini menghadirkan para pemateri yang sangat hebat di bidang masing-masing,” jelasnya.