REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) meminta agar kebijakan pemerintah dalam pengendalian inflasi, khususnya dari bahan pangan, tidak hanya memandang konsumen sebagai tolok ukur. Petani sebagai produsen pangan, harus menjadi bagian dari pertimbangan karena berkaitan dengan kesejahteraan.
"Kebijakan pengendalian inflasi sebaiknya menunjukkan keberpihakan juga kepada petani. Jangan hanya kepada konsumen karena petani yang sediakan pangan buat kita semua," kata Kepala BPS Suhariyanto, dalam webinar yang digelar Institute for Development of Economics and Finance, Rabu (17/2).
Suhariyanto mengatakan, upah buruh tani dari waktu ke waktu memang mengalami kenaikan. Namun, kenaikan itu sangat tipis. Pada Januari 2021, upah nominal buruh tani naik 0,46 persen dari bulan sebelumnya (mtm). Adapun secara riil upah tersebut hanya naik 0,01 persen.
Sementara, laju inflasi pada bulan yang sama sebesar 0,14 persen (mtm). "Itu habis ditelan inflasi. Jadi daya beli buruh tani rendah sekali, yang terjadi buruh tani pindah ke buruh bangunan yang upahnya lebih tinggi," kata Suhariyanto.
Adapun dari sisi nilai tukar petani (NTP), Suhariyanto juga menekankan, kenaikan angka NTP tidak selalu berbanding lurus dengan kenaikan produksi. Faktor yang cukup berpengaruh kepada NTP yakni tingkat harga komoditas yang dijual petani.
Ia mencontohkan, pada 2020, NTP naik tipis 0,74 persen. Jika dilihat lebih detail, kenaikan tertinggi terjadi pada subsektor perkebunan. Suhariyanto mencatat, tahun lalu beberapa harga di perkebunan naik tinggi pada akhir tahun 2020 sehingga mencerminkan faktor kenaikan harga yang meningkatkan NTP petani perkebunan.
Karena itu, Suhariyanto meminta, pengendalian inflasi ke depan turut memperhatikan tingkat kesejahteraan petani. "Tanpa mengangkat kesejahteraan petani, semua orang akan tinggalkan pertanian dan kita akan terpuruk, ketahanan menjadi lemah," ujarnya.