REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga kerja pertanian mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19. Situasi itu disinyalir akibat hilangnya mata pencahariaan di perkotaan sehingga masyarakat memilih kembali ke desa (ruralisasi) dan mencari kerja di sektor pertanian. Jika tidak dikendalikan, beban sektor pertanian akan semakin berat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja pertanian naik dari 36,7 juta jiwa menjadi 41,13 juta jiwa Agustus 2020. Ekonom Senior Institut for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin, mengatakan, kenaikan itu pada satu sisi dianggap sebagai sesuatu yang baik karena mengalami kenaikan.
Namun, pada sisi lain, sektor pertanian akan menanggung beban baru tenaga kerja yang sebelumnya ditanggung oleh sektor perkotaan yang tengah kolaps akibat pandemi.
"Kalo bisa menanggung itu bagus tapi konsekuensinya bisa terjadi penurunan produktivitas dan ini sangat serius," kata Bustanul dalam sebuah webinar yang digelar, Rabu (17/2).
Bustanul mengatakan, kenaikan tenaga kerja itu bisa menambah beban lantaran produktivitas tenaga kerja pertanian saat ini cukup rendah. Karena itu, sektor pertanian harus memanfaatkan perubahan teknologi dalam bidang produksi, panen, dan pascapanen.
Dilihat dari angka kemiskinan, BPS mencatat angka kemiskinan pada September 2020 kembali naik menjai 27,55 juta jiwa. Sebanyak 12,04 juta jiwa terdapat di perkotaan sedangkan 15,51 juta jiwa ada di perdesaan. "Kemiskinan perdesaan sebagian besar petani dan buruh tani," katanya.