Mengenal Sebutan Solo, Sala, dan Surakarta
Rep: Binti Sholikah/ Red: Yusuf Assidiq
Kendaraan melintas di bundaran Tugu Pemandengan Jalan Jenderal Sudirman di depan Balai Kota Solo. | Foto: Republika/Binti sholikah
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Masyarakat Kota Bengawan kerap bingung membedakan sebutan Solo, Sala, dan Surakarta. Kerancuan ini tidak hanya dialami oleh masyarakat kota ini, tapi juga dialami oleh masyarakat di berbagai daerah.
Masyarakat ada yang menyebut dengan nama Solo atau Surakarta. Selain itu, dalam hal penulisan dan pelafalannya pun, masyarakat ada yang suka menggunakan nama Solo dan ada juga yang Sala.
Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Warto, memaparkan mengenai sejarah yang mengakibatkan lahirnya nama Solo, Sala, dan Surakarta.
Warto terlebih dahulu menerangkan sejarah di balik nama Solo dan Sala. Dia mengatakan, pada awalnya nama yang benar adalah Sala.
Alasannya, karena kota yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo ini dulunya merupakan sebuah desa perdikan yang bernama Desa Sala. Dahulu, desa ini dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut juga Kiai Sala.
"Itu nama yang punya sejarah panjang. Jadi, Kota Solo yang sekarang kita kenal itu kan awalnya dari sebuah perpindahan kerajaan dari Kartasura ke Surakarta (Desa Sala) pada 1745," terang Warto, Rabu (17/2).
Lalu, seiring kedatangan orang-orang Belanda, penyebutan nama Sala yang semula menggunakan huruf 'a' berubah menjadi 'o' sehingga pelafalannya berubah menjadi Solo.
"Dengan huruf 'a'. Ingat huruf Jawa 'o' dan 'a' punya perbedaan yang sangat penting. Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di-'taling-tarung' jadi 'o' makanya So–lo gitu. Dan, alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala," jelasnya.
Warto yang juga menjabat Dekan FIB UNS tersebut menjelaskan Desa Sala yang awalnya merupakan desa perdikan berubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pemilihan Desa Sala sebagai lokasi baru keraton didasarkan pada pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan JAB van Hohendorff usai Keraton Kartasura hancur akibat Geger Pecinan.
Dalam sejarahnya, Geger Pecinan terjadi akibat pemberontakan tahun 1740 yang berhasil menghancurkan Keraton Kartasura. Walaupun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, namun Pakubuwana II yang kala itu masih berkuasa menganggap lokasi keraton sudah kehilangan kesuciannya dan berinisiatif memindahkannya ke lokasi baru.
Kemudian, terpilihlah Desa Sala sebagai lokasi baru keraton. "Sala itu sebuah desa yang ditempati untuk Keraton Surakarta Hadiningrat dengan penguasanya Pakubuwana. Apa bedanya Sala dengan Surakarta? Kalau Surakarta adalah nama kerajaan sama dengan Keraton Kartosuro setelah pindah ke Desa Sala," tambahnya.
Seiring perjalanan waktu, Surakarta yang merupakan nama dari sebuah keraton ditetapkan menjadi nama resmi kota administratif. Sehingga untuk nama resmi, penulisan yang benar adalah Kota Surakarta. Sedangkan, nama Solo atau Sala merupakan penyebutan populer atau yang umum di masyarakat. "Perbedaan istilah tidak mengubah substansi, ya tetap sama," jelas dia.