REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) belum dapat menaikkan status penyidikan dugaan korupsi di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker) ke penetapan tersangka. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono mengatakan, tim penyidikannya masih mendalami perbuatan melawan hukum dari seluruh transaksi investasi saham dan reksa dana yang dilakukan BPJS Naker.
Namun Ali memastikan, dari penyidikan sementara ini, dipastikan adanya angka kerugian negara dalam pengelolaan investasi yang dilakukan BPJS Naker. Akan tetapi, Ali mengatakan, angka pasti kerugian negara tersebut, masih menunggu verifikasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas transaksi bursa.
“Bahwa dalam penyidikan BPJS Ketenagakerjaan ini, kerugian (negara) itu ada. Tetapi, apakah ada perbuatan melawan hukum, atau bukan, itu yang tidak gampang,” terang Ali saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Rabu (17/2).
Ali menerangkan, temuan angka kerugian negara dalam kasus BPJS Naker, tak serta merta dapat menjadi basis penetapan tersangka.
Menurut dia, dalam penyidikan korupsi, kerugian negara tersebut, harus juga dibarengi dengan perbuatan melawan hukum. Sebab itu, kata Ali, fokus penyidikan saat ini memastikan adanya perbuatan melawan hukum dalam keputusan transaksi, dan pengelolaan investasi, sebelum penyidik melanjutkan ke penetapan tersangka.
“Itu yang sedang kita dalami. Dan belum ada kesimpulan. Kalau sudah ditemukan (perbuatan melawan hukum), pasti kita minta untuk segera diekspose penetapan (tersangka),” terang Ali.
Direktur Penyidikan di Jampidsus Febrie Adriansyah pernah mengungkapkan, pengelolaan seluruh investasi BPJS Naker mencapai Rp 400-an triliun. Fokus penyidikan dugaan korupsi dan penyimpangan, Febrie menerangkan, pada transaksi saham dan reksa dana senilai Rp 43 triliun.
Dari nilai tersebut, kata Febrie, ditemukan dugaan kerugian negara mencapai Rp 20 triliun, dalam tiga tahun berturut-turut.
“Dalam tiga tahun bisa rugi sampai (Rp) 20 T (triliun). Kalau itu kerugian bisnis, apakah memang analisanya sebodoh itu, bisa sebesar itu? Karena analisanya memang salah, atau sengaja dibuat salah, untuk maksud tertentu,” terang Febrie kepada Republika, Kamis (11/2).
Sebab itu, Febrie mengatakan, tim penyidikannya, sedang memilah-milah sejumlah investasi saham dan reksa dana yang dilakukan manajemen BPJS Naker untuk menemukan motif dari analisi, dan transaksi sebagai salah satu dasar menetapkan tersangka.
“Jadi jaksa mendalami ini. Kerugian yang mencurigakan itu, apakah ada kesengajaan untuk dibuat merugikan BPJS Ketenagakerjaan,” terang Febrie, Kamis (11/2).
Terkait penyidikan dugaan korupsi BPJS Naker, tim di Jampidsus terus melanjutkan pemeriksaan. Sejak kasus ini naik ke penyidikan Januari 2021, sudah lebih dari 60 orang diperiksa. Pada Rabu (17/2) delapan orang dimintai keterangan. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Leonard Ebenezer menerangkan, delapan yang diperiksa, yakni II, TYS, A, LW, dan I, serta KBW, NHP, juga YFT.
“Saksi-saksi yang diperiksa tersebut, masih terkait dengan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan,” kata dia, Rabu (17/2).
Dari para terperiksa tersebut, kata Ebenezer dua inisial, yakni KBW, dan YFT adalah pejabat di BPJS Naker yang mengisi pos sebagai direktur pasal modal, dan kepala urusan pengelolaan aset di BPJS Naker. Sedangkan enam terperiksa lainnya, yakni para direktur dan advisor dari perusahaan-perusahaan sekuritas swasta yang turut mengelola dana investasi saham, dan reksa dana dari BPJS Naker.