REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah studi laboratorium menunjukkan bahwa varian virus corona Afrika Selatan dapat mengurangi perlindungan antibodi dari vaksin Pfizer Inc / BioNTech SE hingga dua per tiga. Perusahaan farmasi itu menyatakan, masih belum jelas vaksinnya akan efektif melawan mutasi virus, Rabu (16/2).
Untuk penelitian tersebut, para ilmuwan dari perusahaan dan University of Texas Medical Branch (UTMB) mengembangkan virus rekayasa. Virus tersebut mengandung mutasi yang sama varian virus corona yang sangat menular dan pertama kali ditemukan di Afrika Selatan atau dikenal sebagai B.1.351.
Para peneliti menguji virus yang direkayasa terhadap darah yang diambil dari orang yang telah diberi vaksin. Hasil menemukan penurunan dua per tiga dalam tingkat antibodi penawar dibandingkan dengan pengaruhnya pada versi virus yang paling umum yang lazim dalam uji coba di Amerika Serikat.
Perusahan menyatakan, studi tersebut menemukan vaksin masih mampu menetralkan virus. Hingga saat ini belum ada bukti dari uji coba pada manusia bahwa varian tersebut mengurangi perlindungan vaksin. Namun, perusahaan melakukan investasi dan berbicara dengan regulator tentang mengembangkan versi terbaru dari vaksin mRNA atau suntikan penguat, jika diperlukan.
Temuan yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine (NEJM) menjelaskan, belum ada patokan yang pasti untuk menentukan tingkat antibodi yang diperlukan untuk melindungi dari virus. Kondisi itu menimbulkan ketidakjelasan pengurangan dua sepertiga itu akan membuat vaksin tidak efektif terhadap varian yang menyebar di seluruh dunia.
Baca juga : Turki Kembali Jalankan Aktivitas Normal Secara Bertahap
Tapi, profesor UTMB dan rekan penulis studi Pei-Yong Shi mengatakan, yakin vaksin Pfizer kemungkinan akan melindungi varian tersebut. "Kami tidak tahu berapa angka penetralisir minimum. Kami tidak memiliki batasan itu," katanya.