Kamis 18 Feb 2021 15:20 WIB

Keteteran Mengejar Target Vaksinasi

Distribusi dan sosialisasi vaksinasi menjadi kendala terbesar.

Petugas bersiap menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada tenaga kesehatan di Puskesmas Merdeka Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (18/2/2021). Tercatat hingga kini pelaksanaan vaksinasi Tahap pertama di Sumsel mencapai sekitar 64 persen dari target 49.000 pemberian vaksin
Foto: ANTARA/Feny Selly
Petugas bersiap menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada tenaga kesehatan di Puskesmas Merdeka Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (18/2/2021). Tercatat hingga kini pelaksanaan vaksinasi Tahap pertama di Sumsel mencapai sekitar 64 persen dari target 49.000 pemberian vaksin

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Zainur Mahsir Ramadhan, Wahyu Suryana, Irfan Junaidi

Hingga pertengahan Februari, vaksinasi kepada tenaga kesehatan atau nakes di Tanah Air masih belum juga selesai. Berdasarkan data dari Satuan Tugas penanganan Covid-19 di Jakarta, vaksinasi terhadap tenaga kesehatan hingga kemarin bertambah sekitar 28.976.

Baca Juga

Artinya, sekarang 1.149.939 tenaga kesehatan yang telah mendapat suntikan vaksin Covid-19. Pemerintah berencana menargetkan sekitar 1.468.764 tenaga kesehatan di Indonesia untuk divaksin. Sampai 17 Februari kemarin, vaksinasi untuk tenaga kesehatan mencapai 78,29 persen dari sasaran.

Vaksinasi bagi nakes dimulai sejak 14 Januari 20201. Artinya, satu bulan setelah pertama program dimulai, capaian vaksinasi bagi hampir 1,5 juta nakes masih sulit terpenuhi.

Sementara, di tengah realisasi vaksinasi bagi tenaga kesehatan vaksinasi tahap II juga sudah dimulai sejak kemarin. Targetnya, vaksinasi tahap II selesai Mei mendatang. Total sasaran vaksinasi tahap II mencapai 38,5 juta orang yang terdiri dari 16,9 juta pekerja publik dan 21,5 juta lansia.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (FKUI), Tjandra Yoga Aditama, memberi masukan agar vaksinasi secepat mungkin disalurkan kepada masyarakat. Prof Tjandra pertama menyarankan agar pemerintah memperhatikan mekanisme pengiriman vaksin beserta kelengkapannya dari pusat ke daerah.

Baca juga : 5 Faktor Penyebab Sedih dan Cara Mengobatinya

Ia memantau pengiriman vaksin tahap pertama sampai dikawal ketat aparat dan diberitakan luas. Pengiriman vaksin untuk tahap berikutnya diharapkan diperlakukan serupa.

"Tentu harus ada mekanisme sangat rinci tentang pengiriman untuk puluhan juta orang di waktu mendatang," kata Prof Tjandra pada Republika, Kamis (18/2).

Kedua, Prof Tjandra mengingatkan pentingnya jaminan terhadap cold chain selama distribusi vaksin. Vaksin wajib dipastikan berada dalam suhu standarnya selama pengiriman sampai ke tujuan.

Pemerintah harus menjaminnya bukan saja dari pusat ke ibu kota provinsi dan kabupaten/kota tetapi juga sampai ke desa terpencil di ujung negeri yang letaknya di lembah atau puncak gunung, di pulau terpencil dan juga terluar, di seberang sungai. "Ketiga, jaminan tersedianya gudang di ibu kota provinsi dan kabupaten/kota dan lemari es tempat penyimpanan vaksin di fasilitas pelayanan kesehatan. Memang tempat penyimpanan dapat dianggap sebagai bagian dari cold chain, tapi tetap perlu dapat perhatian khusus," ujar Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu.

Berikutnya, Prof Tjandra menekankan pentingnya kesiapan sumberdaya manusia program vaksinasi. Di antaranya vaksinator, petugas pemantau KIPI, petugas yang melakukan manajemen distribusi dan penyimpanan vaksin di seluruh Nusantara harus dipastikan siap menunaikan tugas.

"Kelima, harus diakui bahwa semuanya memang harus berjalan bersama ketersediaan vaksin dari pasar dunia. Untuk ini perlu diplomasi kesehatan internasional (global health diplomacy) yang handal dan persisten," ucap mantan pejabat tinggi Kemenkes tersebut.

Baca juga : Enggan Bicara Sanksi, Anies: Vaksinnya Saja Masih Terbatas

Sementara epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, mengatakan tidak harus 100 persen tenaga kesehatan divaksinasi. Menurutnya, hal itu yang membuat vaksinasi tidak sesuai jadwal.

‘’Bisa (karena tenaga kesehatan) tidak layak atau masih ragu,’’ ujar dia.

Pandu menambahkan, sisa dari tenaga kesehatan yang tidak bisa divaksin itu sebaiknya tidak perlu ditunggu untuk mendapatkan vaksin. Sebaliknya, Pandu meminta agar meninggalkan para nakes itu untuk divaksin. ‘’Tidak perlu ditunggu (jika tidak layak), tinggalkan saja,’’ tambah dia.

Menurut Pandu, tenaga kesehatan atau siapapun itu jika tidak layak mendapat vaksin, memang tidak bisa divaksinasi. Upaya itu dinilainya bisa dilakukan, mengingat proses vaksinasi tidak harus 100 persen, termasuk bagi tenaga kesehatan itu sendiri. ‘’Tidak harus 100 persen juga,’’ jelas dia.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) merasa wajar melihat keterlambatan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Ia sudah bisa menebak masalah itu karena sikap pemerintah yang kurang serius sejak awal penanganan Covid-19.

HNW memantau ada pejabat pemerintah meremehkan Covid-19 sebelum resmi muncul di Indonesia. Berikutnya, Presiden Joko Widodo beberapa kali mengevaluasi penanganan Covid-19 tapi belum maksimal. Nama tim penanganan Covid-19 pun berubah beberapa kali.

HNW juga mengkritik pemilihan vaksin Sinovac asal China untuk disuntikan ke masyarakat. Apalagi perusahaan vaksin itu pernah terlibat masalah kecurangan.

"Kelancaran vaksin terbayang bermasalah karena sejak awal pengadaan tidak sepenuhnya transparan dan tidak penuhi harapan publik," kata HNW.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement