Kamis 18 Feb 2021 17:54 WIB

Elsam: UU ITE Belum Jelas Batasi Jenis Konten Langgar Hukum

Elsam menilai ketidakjelasan itu berpotensi menimbulkan multitafsir.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bayu Hermawan
Revisi UU ITE. Ilustrasi
Foto: Google
Revisi UU ITE. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Jafar mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum jelas mengkategorikan jenis-jenis Konten yang melanggar hukum. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan multitafsir terhadap sebuah konten.

"Ketentuan UU ITE tidak secara jelas menyebut kategori atau jenis-jenis konten yang dapat dibatasi atau harmful content dan alasan pembatasannya. Hanya dikatakan konten yang melanggar peraturan perundang-undangan," ujar Wahyudi dalam diskusi daring, Kamis (18/2).

Baca Juga

Padahal di negara lain, seperti Jerman, terdapat aturan yang secara khusus mendefinisikan konten yang melanggar hukum atau unlawful konten. Dengan mengacu pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pedoman penentuan ruang lingkup konten yang dilarang.

"Sampai hari ini dalam hukum di Indonesia tidak ada definisi yang jelas dan ketat mengenai disinformasi berita atau pemberitahuan bohong. Termasuk apa saja kategorinya dan kualifikasinya," ujar Wahyudi.

Kendati demikian, ada sejumlah ketentuan yang mengatur larangan penyebaran berita bohong. Salah satunya adalah Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang memberikan ancaman pidana hingga 10 Tahun penjara.

Selanjutnya ada dalam Pasal 390 KUHP, yang diatur kembali dalam Pasal 28 ayat 1 UU ITE. Kedua pasal tersebut melarang oerbuatan curang untuk mencari keuntungan dalam perniagaan.

"Dalam praktiknya beberapa orang bahkan disangka menyebarkan berita bohong dengan penerapan pidana penghinaan atau pidana terhadap ketertiban umum. Baik KUHP maupun UU ITE," ujar Wahyudi.

Ketidakjelasan definisi, ruang lingkup, dan jenis konten inilah yang seringkali berakibat sumirnya penerapan ketentuan pidana terkait kabar bohong. Padahal tak semua kabar bohor bersifat disinformatif atau informasi tidak benar yang sengaja disebarkan untuk menimbulkan dampak negatif.

"Nyatanya, baik fake news, hoaks, maupun disinformasi memiliki arti yang berbeda dan memiliki ciri tersendiri," ujar Wahyudi.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement